Jumat, 13 Maret 2015

Suatu Sore

Sambil menyesap cokelat panas, kuedarkan mataku ke segala penjuru ruangan kafe ini. Tidak ada yang berubah satu pun. Masih sama seperti lima tahun lalu. Tiba-tiba saja aku terhenyak. Untuk sejenak, kejadian yang pernah membuat hatiku hancur itu datang kembali. Namun kugelengkan  kepalaku kuat-kuat. Bagiku, masa lalu tetaplah masa lalu. Ada yang lebih berarti daripada hanya sekedar mengingat sesuatu yang pernah membuat hatimu hancur. Dan ada seseorang yang lebih berharga untuk kau cintai daripada ia yang pernah menyakiti hatimu.

Kafe ini tetap sama seperti dulu. Dengan kaca transparan, kau bisa lihat taman kota di seberangnya. Juga para pejalan kaki di luar yang lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Pengunjung kafe ini tak terlalu ramai. Mungkin karena gaya bangunan kafe yang lebih terlihat seperti bangunan tua berhawa nostalgia. Maklum, anak muda zaman sekarang lebih berhasrat dengan gaya bangunan minimalis modern ketimbang bangunan gaya tua seperti ini. Namun bagi orang-orang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, bangunan kafe ini adalah simbol kesempurnaan hati . Itu yang dikatakan seseorang padaku. Entahlah, aku juga tak terlalu paham.

Aku lantas memandang ke arah luar lagi. Hatiku merasakan sesuatu yang tidak enak. Mendung. Oh, sial! Kenapa setiap aku ada di sini pasti hujan datang? Dan benar saja, tak sampai semenit, gerimis mulai turun. Aku mendesah panjang. Kali ini, aku tak membawa payung. Kukeluarkan ponselku dari tas. 
Bisa antarkan payung unguku ke kafe?’ aku mengetik SMS di ponselku. Kirim.
Tak lama kemudian pesan balasan masuk. ‘Aku sedang rapat. Tunggu setengah jam lagi, ya :D.’

Aku dengan gelisah melirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 15.00.  Aku memanyunkan bibirku kesal. ‘Oke, kutunggu’, balasku.

Kumasukkan kembali ponselku ke tas. Saat akan kembali meraih cangkir cokelat panasku, tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan seseorang sedang masuk ke kafe. Orang itu sepertinya kehujanan. Dia terlihat gaduh. Tiba-tiba dia mengarahkan tubuhnya menghadapku. Mataku membesar saat mata kami beradu pandang. Dia mematung di sana, tak bergeming. Aku pun cepat-cepat menguasai diriku. Kusunggingkan sebentuk senyum kaku di bibirku. Perlahan dia melangkah ke arahku.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya lembut padaku.
“Mengapa tak boleh? Duduk saja.” 
Dia duduk di depanku. Kami biarkan keheningan menyelimuti kami. Dia rupanya tak tahan.
“Ke mana saja kau menghilang lima tahun ini? Aku bertanya ke sana ke mari, tak satu pun yang tahu keberadaanmu..”  tanyanya memecah keheningan di antara kami.
Aku memandang lurus menuju manik matanya. “Aku tak ke mana pun.”
 “Kau…apa masih mengingat kejadian itu? Apa kau baik-baik saja?” suaranya berubah cemas.
Aku tersenyum masam. “Tentu. Mana mungkin aku lupa. Iya ‘kan? Dan lagi mengenai apakah aku baik-baik saja atau tidak, kau bisa lihat sendiri. Apakah menurutmu aku kurang sesuatu?” 
“Itu adalah sebuah kesalahan, Shain. Percayalah.” Dia berusaha meyakinkanku. 
Aku mendesah. Kuperhatikan pria ini nampak lebih kurus dari waktu terakhir aku bertemu dengannya lima tahun lalu. Dirinya terlihat tak terawat dengan baik.
Aku tertawa tanpa suara. “ Bagiku bukan masalah bila itu adalah sebuah kesalahan atau tidak. Bahkan aku pun tak ambil peduli jika itu adalah sebuah kesengajaan atau tidak. Yang terpenting, saat itu, kau dengan begitu mudahnya melepasku dan melukai hatiku.”
“Shain…”
“Jangan mengharapkanku lagi. Aku sudah punya seseorang yang kucintai melebihi kau. Kau pun sudah mempunyai seseorang yang harus kau jaga. Jadi, biarlah kita hidup sesuai arus putaran hidup kita masing-masing.” Aku memotong ucapannya dengan geram.

Dia memejamkan matanya sejenak. Lalu kembali manatapku dengan pandangan yang terluka. “Kami tidak pernah menikah. Dia mendekatiku hanya karena melihat harta yang kumiliki. Aku sangat menyesal. Satu-satunya wanita yang tulus mencintaiku, hanya kau seorang.”

Aku menghela nafas panjang. Lalu kembali menyesap cokelat panas di meja depanku. Kualihkan pandanganku ke taman kota. Hujan masih turun. Dan di taman sana sudah terlihat kuncup bebungaan yang sebentar lagi akan mekar. Lalu kembali menatap orang itu.
“Lihatlah kuncup bunga di sana itu,” kataku sambil menunjuk taman di seberang kafe ini.“Selalu ada kuncup baru yang akan tumbuh. Hidup pun begitu. Lupakan masa lalu yang menyakitkan dan bangkitlah untuk meraih cinta yang lebih baik,” kataku mantap.

Dia tersenyum sedih. “Aku tak yakin,” nada pesimis terdengar dari suaranya.
“Terserah padamu. Itu urusanmu dan aku tak berhak mencampurinya.” Aku mengedikkan bahuku.
“Shain, terakhir kalinya, kumohon kau untuk kembali ke sisiku.” Pria ini rupanya tak kenal kata menyerah.
Aku menggelang pasti, sambil menatap matanya dalam-dalam.
“Tidak mungkin. Bukankah sudah kukatakan bahwa ada seseorang yang sangat berharga bagiku ketimbang kau.”
Tepat saat itu, seseorang yang sedang kubicarakan itu masuk ke kafe dan berjalan ke arahku sembari tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Dasinya sudah tak terpakai lagi, dan kemeja putihnya digulung sampai lengan. Ah, setiap kali melihatnya, aku tak bisa berhenti untuk terpesona.

Dia mengecup keningku. Kulirik pria yang duduk di depanku. Dia terlihat sangat terkejut.
“Maaf lama, sayang.”  Dia tertawa kecil.
Aku pura-pura kesal. “Begitu? Memang kapan kau pernah datang cepat?”
“Ah, jangan begitu. Dan…siapa pria ini, sayang?” Ia melirik laki-laki yang duduk di hadapanku melalui ujung matanya.
Aku tersenyum, “Temanku saat kuliah.”
Pria yang mengecup keningku menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan pada pria yang sedang duduk tersebut.
“Saya Tian, Mahardika Tian Winata, suami Shaina.”
Pria yang sedang duduk itu pun membalas jabatan tangan suamiku. “Bayu.”
“Maaf tapi kami harus pergi.” Tian menatap Bayu sambil tersenyum.

Dia lalu menggandeng tanganku dengan tangan kirinya sambil tangan kanannya memegang payung unguku. Kami keluar meninggaalkan kafe dan Bayu yang hanya terduduk diam.
Aku tersenyum pada suamiku. Tak sedikit pun menoleh ke belakang. Karena kini hatiku hanya terisi oleh Tian dan tak ada tempat untuk yang lain.

Oryza Sativa


Senyap dan dingin. Udara segar terasa masuk ke hidungku, dan perlahan menyentuh indra perabaku. Kabut tipis masih menyelimuti jalan yang kulalui. Hamparan persawahan terlihat hanya sebagai tanah datar saja, belum ada sinar matahari yang menunjukkan bahwa tanah yang luas itu adalah persawahan. Satu dua motor berlalu lalang di jalan, hanya beberapa saja dan sisanya, yang terdengar hanya beberapa suara katak dan jangkrik yang saling bersahutan antar spesiesnya. Juga langkah kakiku yang sedang menapaki jalan menuju ke arah alun-alun. Lagipula, orang  bodoh macam apa yang mau berjalan-jalan menembus pekat dan dinginnya jam setengah lima pagi (kecuali aku)? Sebenarnya agak kurang pas juga disebut “kota”, karena memang penduduk Kajen hanya sedikit dan posisinya memang sebagai sebuah kecamatan yang masuk ke wilayah kabupaten Pekalongan. Tapi aku akan menyebutnya “kota” saja.
Kota Kajen memang terletak di kaki bukit, yang aku tidak tahu namanya. Saat siang, hawanya, memang agak gerah, tapi tidak sepanas kota Solo misalnya, apalagi semacam Jakarta dan Surabaya. Saat sore menjelang malam, hawa sudah terasa menusuk kulit. Satu jaket atau selimut saja tak cukup untuk menghangatkan badan.
Aku selalu menyukai acara jalan-jalan. Bukan ke mall atau keramaian tipikal pasar dan konser. Tapi lebih berjalan-jalan di luasnya alam. Seperti mendaki gunung dan perbukitan, menyusuri sungai, perkebunan, pantai, danau, atau bahkan hanya berjalan santai di pinggir pedesaan saat pagi hari seperti ini. Semuanya terasa damai dan menyenangkan bagiku.
Saat ini aku sedang berjalan menuju arah alun-alun Kajen. Alun-alun Kajen sama seperti alun-alun kota lain pada umumnya. Tapi jika kebanyakan alun-alun lain terletak di tengah kota dan merupakan pusat keramaian, seperti halnya di kota Pekalongan, Solo, Batang, ataupun Ponorogo, maka alun-alun  Kajen berbeda. Alun-alun Kajen terletak agak di pinggir kota. Di sana pusat pemerintahan kabupaten Pekalongan dijalankan. Majid, rumah dinas bupati, kantor DPRD, dishubkominfo, kementrian agama, kementrian pendidikan, kantor polisi, samsat, pengadilan agama, bank daerah, dan lainnya, semua ada di sini. Jadi tidak mengherankan kalau daerah alun-alun bukanlah pusat keramaian. Tapi alun-alun Kajen akan ramai saat hari minggu atau saat ada perayaan tertentu saja, di mana banyak orang berolah raga, dan juga ada banyak pedagang berjualan. Dari mulai baju, sampai makanan dan minuman. Di alun-alun Kajen terdapat taman yang lumayan besar. Aku suka sekali taman itu, walaupun tidak terlalu terurus. Terdapat beberapa tanaman di sana dan juga bangku-bangku. Lalu, di seberang jalan, di samping taman ada gedung serba guna yang banyak disewa untuk tempat resepsi pernikahan. Di area gedung serba guna itulah, ada beberapa permainan yang terdapat di TK. Semacam ayunan, gesuran atupun hanya sekedar bangku.
Kulihat beberapa bangunan perkantoran baru berdiri tegak. Ada beberapa juga yang sedang dalam tahap pengerjaan. Aku menghela nafas pendek, baru setahun lalu, Kajen sudah berubah banyak. Kemarin saja aku lihat ada lampu lalu lintas yang dipasang di perempatan Kajen yang ramai. Yah, kendaraan bermotor semakin lama semakin menyesaki jalanan. Aku memandang ke sekelilingku. Ini bukan hari minggu, jadi tidak banyak orang di sini. Satu dua orang kulihat sedang berlari-lari kecil mengelilingi lapangan alun-alun. Kupercepat langkahku. Taman alun-alun sudah terlihat batang hidungnya.  
Aku baru sampai kemarin di Kajen. Liburan kuliah dua bulan kuputuskan akan kuhabiskan di sini. Sebenarnya banyak rencana  yang sudah kususun rapi di otakku untuk menghabiskan waktu liburan yang lama ini: kerja sambilan, menjadi tenaga relawan di instansi-instansi kemanusiaan, travelling ke berbagai daerah dan banyak hal lain. Tapi semua buyar begitu saja saat ayah dan orang itu memintaku supaya pulang ke Kajen. Ayah ingin aku menghabiskan waktu liburanku di sini. Katanya, semenjak kuliah di luar kota, aku jarang sekali pulang ke rumah, dan memang aku pulang ke Kajen hanya saat ada libur panjang, misalnya libur semester. Karena aku malas pulang naik bus: aku orang yang mengalami mabuk darat kategori parah. Dan orang itu? Aku mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa dia memutuskan kontak selama hampir empat tahun, semenjak kelulusan SMA, dan tiba-tiba baru menghubungiku tepat di saat UAS semester. Suatu hari dia menelepon dan memintaku pulang ke Kajen selama masa liburan ini. Sudah! Itu saja! Sekali saja dia menghubungiku, hanya untuk memerintahku pulang, sisanya, teleponku tidak pernah diangkat bahkan smsku pun tidak pernah dibalas.
Aku duduk di bangku taman. Taman ini tidak berubah sejak aku terakhir ke sini. Masih agak semrawut. Dan catnya sudah mengelupas di sana sini. Matahari sudah sedikit menampakkan dirinya, membuat udara terasa menghangat. Aku menghela nafas panjang. Dulu, aku dan orang itu suka sekali bermain di sini, bersama teman-teman lainnya. Hampir tiap hari, jika tidak ada halangan. Kami akan berlarian, bermain petak umpet, atau sekedar jalan-jalan di antara teduhnya pepohonan. Sekarang, aku sibuk kuliah. Teman-teman lain juga sibuk dengan urusan masing-masing. Dan dia juga mungkin sibuk mengurusi bisnisnya, yang entah aku tidak tahu apa.
Aku mengedarkan pandanganku. Sepi. Kemudian aku memejamkan mataku. Ah, damainya...
“Oryza!” ah, mungkin aku hanya berkhayal...
“Oryza Sativa!” tapi kalau aku memang sedang berkhayal, kenapa suara itu terdengar berulang di telingaku?
Kubuka mataku. Hatiku bergetar, suara lembut seseorang mengempasku kembali pada alam nyata. Kualihkan mataku ke samping kanan. Di sana, seseorang tengah tersenyum lebar. Mampu menembus sisi hatiku yang berkabut.
Aku menatapnya tidak berkedip. Dia...di sini? Kenapa?
Saat aku masih kecil, aku sangat ingin cepat bertumbuh dewasa. Rasanya menyenangkan melihat kehidupan orang dewasa. Tapi ternyata aku salah besar. Bahkan, saat ini, saat aku akan beranjak dewasa. Aku ingin waktu kembali memutar mengantarku ke masa kecilku. Masa bahagia. Saat kamu kau tahu bahwa dihukum ibu guru karena tidak mengerjakan pr, atau luka karena terjatuh, sakitnya tidak seberapa jika dibandingkan sakitnya hati yang terluka. Dan itu terjadi padaku.
“Kenapa? Kenapa ada di sini?” aku mencoba mengendalikan diriku, suaraku lirih dan sangat bergetar.
“Nggak boleh? Suka-suka aku dong, Oryza Sativa!” dia masih mencoba membuat humor. Aku sama sekali tidak menganggapnya sedang melucu. Dia bukan pelawak profesional.
“Nggak lucu! Dan jangan panggil aku begitu. Itu menyakitkan.” Hanya dia satu-satunya yang memanggilku dengan lengkap sejak kami masih kecil. Aku lalu mengalihkan tatapanku ke arah depan. Memandangi kendaraan yang mulai ramai berlalu lalang.
Oryza Sativa. Itu namaku. Aneh? Menurutku tidak. Standar saja alasan ayah memberiku nama itu. Dia ingin aku seperti padi, yang semakin berisi semakin merunduk. Ayahku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ayah hanya tahu “oryza sativa” dari pedagang pupuk yang dibelinya. Saat itu, saat ibu masih mengndungku,  ayah melihat ada tulisan “oryza sativa” di buku kecil si pedagang pupuk. Ayah bertanya apa artinya. Lantas si pedagang mengatakan bahwa oryza sativa adalah bahasa Latin yang berarti padi. Ayah dan ibu lalu tanpa pikir panjang memberiku nama oryza sativa saat aku lahir. Namun sayang, ibu belum melihat seperti apa si oryza sativa saat beranjak dewasa...
Terkadang aku merasa geli saat orang-orang baru pertama kali mengenalku. Mereka akan penasaran bagaimana bisa namaku Oryza Sativa, dan aku harus menjelaskan pada mereka bagaimana asal usul namaku itu. Dan itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi beberapa kali. Kadang membuatku sedikit kesal dan sebal, yang akhirnya berujung pada keinginan untuk merubah namaku. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak apa-apa. Toh, nama adalah doa orang tua.
“Kenapa? Aku selalu suka nama oryza sativa. Itu mengingatkanku pada orang yang kusayangi.” Dia terlihat tersenyum merenung, lalu memandang ke arah yang sama denganku.
Aku mendesah. Aku menyukainya dari dulu. Berusaha menarik perhatiannya dengan cara apa pun. Tapi sepertinya dia tidak bisa membaca apa yang kuinginkan. Dia mengacuhkanku. Memang salahku, tidak memberitahunya apa yang kurasakan.
“Yang kamu sayangi cuma sebatas adik...” aku menggigit bibir saat mengatakan hal itu. Aku tidak boleh menangis di depannya. Aku tidak mau dikasihani. Aku benci dikasihani.
“Sayang kepada keluarga jauh lebih besar kadarnya dibanding rasa sayang yang orang-orang umbar ke kekasihnya. Kamu apa kabar?” Dia mencoba mencari pembenaran.
“Keluarga apa? Adik angkat, keluarga angkat?” aku benci harus melanjutkan percakapan penuh emosi seperti ini. Aku kembali menatapnya tanpa ekspresi. Tidak mengindahkan pertanyaannya yang menanyakan kabarku.
“Eh?” dia mengernyitkan dahinya setelah mendengar kalimat terakhirku. Mungkin sedang mencerna artinya. Ayolah! Aku tahu IQ nya sangat tinggi. Tapi kenapa selalu terlihat bodoh saat berhadapan denganku?
Aku benar-benar sudah tak tahan. Aku memutuskan bangkit dan berjalan perlahan menjauhinya. Terdengar derap langkahnya mengikutiku. Aku tidak peduli. Bukan urusanku dia mau pergi atau mengikuti ke manapun aku pergi.
“Adik angkat?” suaranya terdengar di belakangku.
“Iya, adik angkat. Selama ini ‘kan kamu anggep aku adik angkat. Apalagi kalau bukan itu?” suaraku terdengar serak dan putus-putus saat mengatakan hal itu.
Aku berhenti tiba-tiba, dan membalikkan badanku ke arahnya. “Aku tau kalau kamu juga tau kan kalau aku suka kamu! Tapi kamu sengaja pergi. Sengaja mutusin kontak. Sengaja narik ulur perasaan aku. Sampai beberapa minggu lalu kamu minta aku pulang. AKU KANGEN KAMU! KAMU TAU NGGAK!” aku berteriak keras, tidak lagi peduli lagi dengan banyaknya air mata yang berebutan keluar dari tempat persembunyiannya. Juga tidak peduli dengan beberapa orang di taman yang malihat ke arah kami.
Dia hanya bergeming di sana, tak bergerak sama sekali. Tetapi kemudian tersenyum lebar dan berjalan mendekat ke arahku. Aku menatapnya tidak mengerti. Apa-apaan dia! Benar-baner membuat aku ingin mati saja.
“Kamu tau nggak? Aku lho, juga kangen kamu.” Dia mengatakan itu saat jarak kami hanya satu meter, dengan senyuman lebar yang masih menghiasi wajahnya.
Aku mendengus kesal, “cuma kangen kan? Bukan suka!”
Dia tertawa keras. Aku tercenung lagi. Ya Tuhan, bisakah Engkau tidak membuat makhluk satu ini tidak tertawa ataupun tersenyum di hadapanku? Karena itu membuat jantungku seperti sedang melakukan lomba lari maraton tingkat internasional.
“Memang bukan suka! Tapi sayang dan cinta!” dia terlihat mengeraskan rahangnya saat mengucapkan kalimat itu.
Aku terpana. Bagaimana bisa? Dia masih saja berbohong bahkan di saat dia sudah memiliki istri?
“Gila ya! Kamu udah gila kak! Beraninya bicara begitu bahkan saat kamu udah punya istri!” aku berkata ketus. Dia benar-benar sudah melampaui batasnya sebagai seorang laki-laki.
“Istri?” kekagetannya tak bisa disembunyikan saat mengatakan itu. “Sejak kapan aku punya istri?” matanya membulat mencari tahu jawaban yang akan aku lontarkan.
Dia benar-benar pandai berakting!
“Fauzan yang bilang tiga bulan yang lalu! Dia bilang kakaknya sudah menikah dan punya istri!” aku menggertaknya keras. Terbayang di benakku kejadian tiga bulan yang lalu. Fauzan, adiknya bilang kalau dia sudah menikah dan mempunyai istri. Pernyataan Fauzan membuatku terluka untuk kesekian kalinya.
Dia hanya melongo mendengar kalimatku. Beberapa detik kemudian dia tertawa dan tatapannya melembut. Dia tersenyum, “Fauzan pasti salah menguping pembicaraanku dengan ayah ibu.”
Dia mendekat lagi ke arahku sampai jarak kami kira-kira hanya setengah meter. “Aku bukan sudah menikah, tapi aku baru akan menikah.”
Aku tak percaya. Sebegitu mudahnya dia mengatakan hal itu di depanku. Airmataku kembali mengalir deras. Apakah dia masih memiliki perasaan? Mengapa begitu saja mengatakan hal itu kepadaku? Apa dia sengaja? Di manakah hatinya? Aku berdiri terdiam, membiarkannya terus menatapku. Dan dia masih saja bisa tersenyum di saat airmataku mengalir tanpa ampun.
Dia merogoh kantung celana panjangnya, meraih sesuatu di sana. Sesuatu, yang kurasa sebuah undangan. Berwarna hijau terang. Dia meraih tanganku dan menyodorkan kertas itu.
Aku hanya menatapnya penuh tanda tanya. Lagi lagi aku ingin berteriak keras, ke mana hatinya? Apa dia tidak sadar bahwa ini akan sangat memberi pengaruh buruk pada hatiku.
“Dibuka dong! Mana kamu tau siapa calon istriku kalau kamu cuma bengong liatin aja.” Dia tersenyum simpul.
Aku membuka kertas hijau itu dengan tangan bergetar. Dan mulai menggerakkan bola mataku mencari ka arah nama si calon pengantin perempuan.
Oh! Aku menutup mulutku dengan tangan kananku begitu aku menemukannya. Tidak mungkin, ini pasti salah! Pasti ada yang salah dengan mataku! Kenapa bisa?
Zidan Rauf dan...Oryza Sativa???
Aku memandangnya yang masih tersenyum ke arahku. Pandanganku mulai mengabur saat air mataku tumpah ruah, mulai membasahi baju yang kukenakan. Dan dia menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Sehangat sinar matahari yang terlihat semakin meninggi di atas kami.
***********

Kami perlahan melangkah ke pemakaman ini. Hening. Ini, tempat sesungguhnya seorang manusia. Dan juga tempat ibuku berada selama 20 tahun ini. Ya, ibuku meninggal saat usiaku baru setahun, karena kanker rahim yang ibu derita, kata ayah. Kanker itu muncul secara tiba-tiba saat sudah mencapai stadium akhir. Tidak aja jalan lagi untuk disembuhkan. Ayah hanya pasrah menerima semuanya. Bagi ayah, kematian sudah menjadi kehendak Yang Kuasa, tidak ada yang bisa menolaknya.
“Ibu...” aku menatap nisan di depanku, lalu mengusapnya, “ibu, aku rindu ibu...” tangisanku meledak, dan dia masih menggenggam tanganku erat.
“Ibu, apa ibu tahu kalau selama ini aku kesepian, jadi ibu mengirim dia untuk menemaniku? Ibu, ibu dan ayah selalu hadir dalam doaku pada Yang Maha Esa. Semoga siksa kubur ibu diringankan, dan semoga ibu masuk surga. InsyaAllah, aku dan ayah juga akan menyusul ibu suatu saat nanti, dan juga Kak Zidan. Bu, kami akan menikah. Harusnya ibu lihat Iza menikah...” aku tak sanggup lagi meneruskan kalimatku. Tenggorokanku rasanya kelu.
“Bu, aku akan menjaganya. Oryza, dia akan aman dalam perlindunganku, bu. Aku janji.” Kak Zidan menatap nisan ibu lembut. Aku semakin terisak.
Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Kami berdoa sebentar, lalu bangkit berjalan meninggalkan pemakaman. Kak Zidan masih menggenggam tanganku erat.
*********

“Jadi karena itu kakak sama ayah minta aku pulang?” aku menatapnya yang masih berkonsentrasi menyetir.
“Iya lah, terus ngapain lagi dong? Mumpung waktunya banyak, kita juga bisa bulan madu ‘kan, Oryza Sativa?” dia menjawab dengan kalimat jahilnya sambil terus menatap lurus ke depan.
Aku mencubit pingganggnya. Menyebalkan!

Menemukanmu

cover: www.debretts.com

Sekarang semua kekurangan dan kelebihanmu adalah milikku juga. Aku butuh mencintaimu. Aku butuh, dan kalau tidak mencintaimu, rasanya aku akan mati.
***
“Cantik,” sebuah suara berat khas kaum adam mengagetkanku yang tengah duduk di pinggir lapangan sepak bola. Dan dia ikut duduk di sampingku sedetik kemudian.
Siapa yang dia bilang cantik? Aku membatin dalam hati, sambil tetap menatap lurus ke depan tanpa memalingkan muka ke arahnya. Namun aku langsung dapat menerka ke mana arah pembicaraan ini akan berlangsung.
“Oh, dia ya?” kataku sambil menunjuk seseorang dengan daguku. Seorang wanita yang sedang berlarian bersama anak-anak itu di lapangan.
“Iya,” aku menangkap nada datar dari suaranya.
“Namanya Eka. Teman sekelasku, relawan di griya ini juga.”
Hening.
“Dia cantik, pintar, baik, dan dari keluarga berada. Pada intinya, she is perfect,” lanjutku tanpa menghiraukan apakah dia akan meresponku atau tidak.
“Masa’?”
Aku memalingkan wajahku ke arahnya dengan kesal. Bisa kulihat wajahnya yang dipenuhi cengengesan. “Kamu suka dia?”
Dia mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Aku nggak tertarik sama sekali.”
Aku mengernyit heran. Tidak tertarik sama sekali? Apa dia sedang bercanda? Ya Tuhaaan, Eka itu termasuk salah satu spesies yang akan membuat semua laki-laki mendekat tanpa dia harus menarik perhatian mereka.
“Kenapa kamu nggak tertarik sama dia? Dia sempurna dan yang terpenting, dia baik. Aku  yang sesama perempuan, sangat iri dengannya. Dia disukai semua orang...” tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
“Kamu bisa disangka orang gila kalau tertawa seperti itu.” Pria di sampingku ini tertawa renyah.
“Tawamu renyah sekali,” aku menatapnya lekat.
“Mungkin benar kalau dia disukai semua orang, tapi belum tentu dia dicintai dan disayangi semua orang,” dia berkata tanpa menghiraukan kalimat terakhirku.
Aku merenung. Mungkin ada sedikit benarnya juga. Tapi, bagaimana pun juga, disukai semua orang pastilah hal yang sangat menyenangkan.
“Aku Yudha, mahasiswa yang sedang melakukan observasi di sini,” katanya ramah sambil mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut uluran tangannya riang, “Mita.”
“Sudah berapa lama kamu jadi relawan di sini?”
“Ah, sebenarnya aku nggak pantas juga disebut relawan. Aku baru gabung di sini sekitar setahun yang lalu, itu juga dulu jarang datang karena sibuk kuliah dan kerja bantu ayah, jadi waktuku hampir tidak ada.” Ucapku sambil tanganku memainkan rumput di sekelilingku.
Kulihat dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terus, apa motivasimu jadi relawan di sini?”
“Niatku cuma ingin berguna bagi sesama. Tidak ada maksud apa-apa.”
Dia menghela napas panjang, “kamu...apa kamu pernah ketemu sama pemilik griya ini?”
Aku menggelengkan kepalaku lemah. “Ibu Muryanah, penjaga griya bilang kalau pemiliknya sangat sibuk. Beliau bilang pemiliknya pak Gilang, seorang mahasiswa usia 25 tahun yang sedang menempuh tahun terakhir studi S2-nya di Inggris. Aku salut sama dia. Masih muda dan sudah berhasil. Lalu, peduli dengan sesama.”
“Kalau ada niat, kamu pasti juga bisa kayak pak Gilang itu,” Yudha tersenyum simpul ke arahku.
“Yahhh, aku harap juga begitu.” Jawabku pendek.
Tiba-tiba, beberapa anak berlarian ke arahku sambil tertawa riang.
“Kak Mitaaa, aku capeeek,” si gendut Ardi menjatuhkan badannya di rumput di depanku.
“Iya kak Mitaaaaa, aku jugaaaa!” beberapa suara menimpali rajukan Ardi.
“Yeee, dasar kalian ini! Nih, kak Mita tadi bawa es teh, tau deh masih dingin apa enggak. Di situ ada makanan juga. Ambil sendiri yah, jangan rebutan!” aku pura-pura kesal.
Seorang anak lagi, Nando, tertawa melihat tingkahku. Aku pun juga ikut tertawa. Dia kemudian mendekat dan mencium pipiku, “makasih kak Mita,” ucapnya tulus. Aku hanya tersenyum.
“Kak! Kak Mita sama kak Yudha cocok deeeh!” Ardi mengangkat kedua jempolnya ke arah kami.
Aku mengernyitkan dahiku heran. Sejak kapan dia kenal dengan Yudha? Aku saja baru pertama kali ini bertemu dengannya.
Dan Yudha seolah tahu isi pikiranku, “Ardi dan semua anak di sini kenal denganku. Aku sudah beberapa kali ke sini untuk mengerjakan penelitianku. Tapi sepertinya kamu baru bertemu denganku kali ini. Dan Eka,” dia melirik ke arah Eka, “ aku juga sudah bertemu sekali dengannya.”
Dia melanjutkan perkataannya, “anak-anak itu cepat mengenaliku karena kharisma dan ketampananku ini,” dan tertawa terpingkal-pingkal beberapa saat kemudian.
Astaga! Aku baru sadar kalau dia memang tampan. Wajahnya menunjukkan kalau dia berasal dari ras campuran Asia Eropa, meskipun tidak terlalu kentara. Dan ya, sesuatu memang memancar keluar dengan kuat dari pria ini. Apa ya? Aura? Kharisma? Entahlah, aku tak tahu.
“Nah, kamu saja tepesona denganku.” Yudha menggodaku.
“Eh, nggak ya!” aku menyangkal kesal, yahh walaupun tadi aku memang sedikit terpesona padanya.
Aku menatap anak-anak di sekelilingku. Mereka nafasku dan aku butuh mencintai mereka. Mereka anak-anak yang dibuang ibunya, dan aku sangat ingin menjadi ibu pengganti untuk mereka. Rasanya bahagia melihat mereka tertawa begitu riangnya. Kulihat Nando, Kevin, Mayang dan Ela berebutan buah jeruk. Kelakuan mereka membuatku terhibur.
“Hei, Yudha?” suara Eka membuyarkan lamunanku. Ia dan diikuti anak-anak lain, berlari-lari kecil menghampiri kami.
Yudha tersenyum, “apa kabar, Ka?” sahutnya ramah.
“Wah, baik. Kok ke sini nggak bilang-bilang?” Eka mengambil posisi duduk di sebelah Yudha. Dan setelahnya aku merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa tentang pembicaraan mereka.
Aku selalu merasa dinomorduakan. Eka memang orang yang easy going, sehingga dia sangat cepat akrab dengan orang lain. Sedangkan aku? Perempuan dengan kepribadian tertutup dan pendiam. Antara sifatku dan sifat Eka, kami berbeda bagai langit dan bumi.
Kuputuskan menyiapkan makan siang. Aku beranjak pergi dari tempat itu..
Tiba-tiba Yudha memanggilku, “hei! Mau ke mana kamu?”
“Menyiapkan makan siang dulu.” Aku tersenyum simpul dan berbalik berjalan meninggalkan mereka berdua.
***
“Enyaaaaaaaaak kak Mita!” Ardi mengoceh dengan mulut penuh makanan.
Nando bahkan menunjukkan kedua jempol jarinya padaku. Pertanda masakanku lezat.
“Kamu pinter masak ya?” Yudha berkata padaku sambil menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
“Nggak juga sih. Dulu karena ngekos, ya aku harus masak sendiri, soalnya kalau beli terus kan bisa jebol kantongku.”
Eka dan Yudha sama-sama tertawa.
“Oh ya, Mit, ada kabar bagus banget. Pak Gilang, pemilik griya ini memutuskan akan mampir ke sini sebelum beliau balik lagi ke Inggris. Tadi bu Muryanah telepon aku waktu kamu lagi nyiapin makan siang,” ujar Eka dengan wajah serius.
Aku antusias. “Astaga! Beneran Ka? Ya Tuhan, aku seneng banget. Tapi, gimana ya rupa pak Gilang itu?” aku berandai-andai.
“Anggap saja dia berkacamata, kaku, pendiam, dan kuper,” Yudha menimpali sambil terkekeh pelan.
Aku menatapnya galak, “Sembarangan kamu!” semprotku.
Yudha kembali tertawa.
Kami lalu melanjutkan makan siang kami. Sebenarnya aku ingin berlama-lama dengan orang-orang di griya ini. Tapi, aku harus mengerjakan pekerjaan kelompokku membuat mainan edukasi untuk anak-anak balita, dan lusa adalah deadline. Novi dan Hani sudah mengoyak-oyakku untuk cepat menyelesaikan tugas kami.
***
Aku membenarkan letak jaket peach-ku. Tak lupa sarung tangan, masker dan helm. Aku pengemudi lalu lintas yang baik bukan?
“Hei! Ingat ya, besok ke sini!” Eka berteriak keras.
“Aduh, Ka! Nggak usah teriak deh. Suaramu tuh udah keras tau,” sahutku kesal. Aku lalu mengarahkan motor matic-ku ke arah jalan. Sambil melambaikan tanganku, aku menoleh ke belakang. “Aku pergi yaaa!”
“Hati-hati Mita!” Yudha dan Eka serempak berteriak padaku. Juga anak-anak griya.
Aku mengangguk dan langsung menjalankan motorku.
***
Sepanjang hari ini aku gelisah, sangat gelisah. Kenapa? Karena hari ini hari besar! Aku akan bertemu pak Gilang! Aku gugup, sangat! Aku tahu dia orang hebat. Masih muda dan sudah akan lulus S2. Belum lagi kebaikan hatinya terhadap anak-anak yatim piatu itu. Beliau mendirikan Griya Bina Hati, sebuah “rumah” untuk anak-anak itu. Yang kutahu juga dari Eka dan bu Muryanah, beliau murni menggunakan dana pribadi beliau untuk kelangsungan griya.
“Nggak usah gugup begitu, Mit,” bisik Eka pelan nyaris tak terdengar.
Malam ini, segenap orang-orang di griya ini berkumpul. Mulai dari para relawan, pembantu-pembantu griya, bu Muryanah, dan semua anak di griya ini  duduk dengan rapi. Semua ramai dan saling berbisik satu sama lain.
Suara deru mobil terdengar jelas. Aku semakin gugup saja, malah Eka memegangi tanganku yang rasanya mulai berkeringat bahkan di ruangan ber-AC ini.
Seseorang, mungkin asisten pak Gilang, masuk ke ruangan. Dia tersenyum kepada semua orang.
“Mari kita sambut sang pemilik griya ini, mas Prayudha Gilang Anggara!”
Tepuk tangan mengisi ruangan. Seseorang masuk, berdiri dan tersenyum di depan kami semua. Detik itu juga wajahku pias oleh kejutan yang terbentang di hadapanku.
***


2 tahun kemudian.
Kami duduk berdua malam ini, di balkon apartemen. Aku menatap lurus ke depan, melihat kerlip lampu malam warna warni, sambil bersandar pada pundak laki-laki yang kucintai ini. Dia suamiku, jodohku.
“Jadi, yang kamu bilang cantik itu dulu, aku mas?” ucapku riang. Dulu, saat aku  pertama bertemu dengannya, dia langsung menyapaku dengan kalimat “cantik”, tetapi aku tidak menyadarinya. Yang kutahu, saat ada aku dan Eka, kalimat “cantik” pasti selalu hanya ditujukan untuk Eka, bukannya aku. 
Laki-laki ini mengelus rambutku penuh sayang, mengecup dahiku berkali-kali sesuka hatinya.
“Jawab dong!” rengekku manja.
“Kamu kan udah tau. Kenapa masih tanya lagi sih?” ujarnya pura-pura kesal.
Aku tersenyum menatapnya. “Pantas aja kamu nggak tertarik dengan Eka, soalnya dia sepupu kamu.”
Dia balas tersenyum padaku. “Kalau pun dia bukan sepupuku, aku tetap cintanya sama kamu, sayang.”
Aku meraih lengannya, bergelung mencari kehangatan di sana.
“Aku sudah jatuh cinta saat pertama melihatmu di rumah Eka 10 tahun lalu. Saat itu kuputuskan kau adalah jodohku,” dia mengunci mataku dengan tatapan teduhnya.
“Dan jadilah, hari itu, kamu kasih kejutan sama aku. Kamu bersekongkol dengan semua orang di griya. Cuma aku yang nggak tahu kalau ternyata pemilik griya itu, kamu.” Aku memanyunkan bibirku, merajuk.
Lagi-lagi, dia hanya tertawa melihat tingkahku. Perlahan matanya menggelap.
“Aku mencintai kamu apa adanya kamu. Sekarang semua kekurangan dan kelebihanmu adalah milikku juga. Aku butuh mencintaimu. Aku butuh, dan kalau tidak mencintaimu, rasanya aku akan mati.” Dia mulai dengan gombalannya yang meluluhkan hatiku.
Aku mendekatkan wajahku ke tengkuknya. Wangi. Dengan seduktif, aku mengembuskan napasku pelan-pelan, “Ya, Prayudha Gilang Anggara, aku juga cinta kamu. Kemarin, hari ini, esok, dan selamanya.”
Lalu kubergegas berdiri masuk ke dalam kamar saat lengannya tiba-tiba menarikku  ke pelukannya. Saat dia menggendongku masuk kamar sambil tersenyum, dan aku melingkarkan kedua tanganku ke lehernya. Aku bahagia.

Dendam


“Tidak jelas siapa pelakunya, La. Polisi, bahkan orang pintar di dusun sudah angkat tangan. Separuh penduduk di sini sudah pindah ke tempat lain yang dianggap lebih aman.” Sri bergidik ngeri saat cerita itu mengalir dari bibirnya sendiri.
Dia baru saja menceritakan tentang kejadian mengerikan itu pada sahabat barunya, Mala. Kumala Dewi adalah penduduk baru di desanya. Dia pindah dari kota karena bosan dengan suasana kota, katanya. Dia tinggal di rumah bersama Bi Inah saja. Papa mamanya tidak ikut pindah, mereka masih tinggal di kota untuk mengurusi bisnis keluarga, itulah cerita yang Sri dapatkan dari Mala.
Mala melemparkan kerikil kecil di tangannya yang diambil dari tanah, ke kali kecil di hadapan mereka, “sampai sekarang belum terungkap juga? Padahal kejadiannya sudah terjadi sejak tiga tahun lalu, ya?” dia bergumam sambil memandang Sri.
Sri menggeleng lemah. “Pelakunya tidak pernah meninggalkan jejak, bahkan sidik jari pun tidak ada. Sampai sekarang, orang-orang yang menghilang itu tidak pernah kembali lagi, karena itu kami menyimpulkan bahwa mereka sudah mati dibunuh. Sebab, si pelaku selalu meninggalkan secarik pesan pada keluarga orang-orang itu, bahwa mereka sudah dibunuh.
Mala melamun. Dia ingin sekali membantu Sri memecahkan masalah pelik ini.
“Eh, besok aku main ke rumahmu ya, pengen lihat-lihat. Boleh?” Sri menatap Mala senang, sambil tangannya memainkan rumput-rumput pendek di sekeliling mereka.
Mala tersenyum. “Boleh. Tapi sayang mama papa nggak ada di rumah. Mereka ada pertemuan penting dengan klien di Singapura.”
Sri mengangguk, dia paham dengan hal itu, Mala sudah memberi tahu dia sebelumnya. Dalam hati, Sri membatin, betapa Mala sangat beruntung memiliki kehidupan sempurna. Cantik, pintar, kaya dan mempunyai orang tua yang luar biasa. Namun sayang, Sri belum pernah memiliki kesempatan bertemu dengan kedua orangtua Mala. Itu karena mereka sangat sibuk. Bahkan saat pindahan pun, Mala hanya bersama bi Inah.
“Kamu beruntung La, punya kehidupan sempurna.” Sri memandang lurus ke kali di hadapan mereka. Kali itu terletak di belakang rumahnya. Airnya bersih, dan terkadang banyak anak-anak mencari ikan dan udang di sana.
“Aku tidak seberuntung yang kamu pikirkan,” Mala tersenyum pahit. “Oh ya, apa sudah ada spekulasi-spekulasi di balik pembunuhan berantai itu?” rupanya Mala tidak dapat menyembunyikan rasa keingintahuannya. Dia begitu tertarik dengan kasus kali ini.
Sri menghela nafas panjang. “Tidak ada yang tahu pasti apa alasan di balik pembuhuhan tersebut. Namun aku yakin sekali ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa keluarga pak Diman sekitar 13 tahun lalu. Saat itu usiaku baru 7 tahun, jadi aku tidak paham apa yang terjadi.”
Sri menambahkan, “malam itu sehabis maghrib, aku melihat bapak dan ibu berlari panik sambil membawa kayu seukuran kira-kira setengah meter, juga pisau, bersama kira-kira 10 orang lainnya. Aku tanya mau ke mana mereka cuma bilang mau ke rumah pak Diman, ada urusan yang hendak diselesaikan. Belakangan baru kutahu, bahwa pak Diman dan istrinya dituduh memelihara tuyul untuk mencuri uang-uang warga desa. Tapi ternyata itu semua tidak benar.”
Sri menerawang kembali, “saat itu aku yang masih kecil mengikuti ke mana bapak ibu pergi, tanpa mereka tahu. Mereka berjalan tergesa menuju arah rumah pak Diman. Aku bersembunyi di balik pohon, agak jauh dari orang-orang itu. Lalu seorang laki-laki lain menyiram sesuatu ke arah rumah itu. Dan tak lama kemudian yang kulihat adalah nyala api yang berkobar besar diiringi teriakan dan tangisan dari dalam rumah. Aku takut sekali. Lalu aku kembali ke rumah, kupikir lebih baik aku seolah tak tahu apa-apa. Karena itu saat kak Bimo dan nenek menanyaiku, aku diam saja sambil menangis. Kamu tahu, La, untuk ukuran anak kecil sepertiku, peristiwa itu sangat mengerikan.”
Mala mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia begitu tak menyangka itu akan dialami oleh Sri. Dia hanyut dalam cerita Sri, seolah-olah, dia ada di sana saat peristiwa mengerikan itu berlangsung.
“Keesokan harinya warga beramai-ramai datang ke rumah yang telah terbakar habis itu, memastikan tak ada yang selamat. Akhirnya, warga menguburkan mayat pak dan bu Diman yang telah gosong ke dalam satu lubang yang digali persis di tengah-tengah rumah tersebut.”
Mala terlihat berpikir keras, dahinya berkerut memandang Sri, “katamu, kamu curiga apakah pembunuhan itu ada kaitannya dengan peristiwa tersebut. Aku berspekulasi, apakah orang-orang yang menghilang dari desa ini adalah kedua belas orang yang melakukan pembakaran tersebut? Berarti...termasuk bapak dan ibumu?” Mala bertanya dengan hati-hati, takut melukai perasaan Sri.
Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan cepat Sri, juga diiringi mata Sri yang berkaca-kaca, “total yang menghilang ada 10 orang. Sedangkan bapak ibuku sudah meninggal akibat kecelakaan sebelum pembunuh itu membunuh mereka.”
Mala memeluk tubuh sahabatnya itu, “tidak apa-apa, beruntung, mereka selamat dari maut.”
Sri mengangguk. Dia lalu mengusap air matanya yang berjatuhan dengan tangannya.
Mala memandang sekelilingnya, suasana sudah mulai beranjak gelap, matahari sudah setengah turun ke peraduannya.  Dia beranjak bangkit dari duduknya, lalu menepuk-nepuk celana jeans birunya yang kotor akibat duduk di tanah tepi kali.
“Ayo, Sri. Kita pulang. Sudah hampir malam,” Mala mengulurkan tangan kanannya membantu  Sri yang masih duduk untuk berdiri.
Sri mengangguk, lalu meraih uluran tangan Mala. Dia pun menepuk-nepuk rok hitamnya yang juga kotor. Lalu berdua mereka berjalan menuju rumah masing-masing.
***
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuat konsentrasi Mala yang sedang membaca buku di ruang tengah buyar.
“Saya bukakan, Non,” bi Inah datang tergopoh-gopoh membuka pintu.
Beberapa saat kemudian, bi Inah datang dengan seseorang.
“Nona Sri, Non,” ucap bi Inah sambil tersenyum pada majikannya itu.
Mala menutup buku yang sedang dibacanya, lalu buku itu diletakkannya ke atas meja kecil di hadapannya. Dia menepuk-nepuk sofa yang masih kosong di samping kirinya, “duduk sini, Sri.”
“Bi, tolong ambilkan camilan-camilan dan juga buatkan jus jeruk ya, dua. Hari ini panas banget. Oh ya, nanti taruh di meja samping kolam renang aja ya bi,” Mala berkata pada pembantunya itu.
Bi Inah mengangguk patuh, “ya, Non,” lalu segara berlalu dari hadapan mereka.
“Oh iya, katanya kamu mau lihat-lihat rumahku ‘kan? Ayo!” Mala tersenyum dan beranjak dari sofa yang didudukinya, Sri pun begitu.
“Ayo!” dia terlihat antusias menyambut ajakan Mala.
Mata Sri terlihat memancarkan sinar kekaguman terhadap rumah Mala. Rumah ini dua kali lipat ukuran rumahnya. Tadi dinding luar rumahnya berwarna putih, sedangkan bagian interiornya berwarnya kuning. Di ruang depan terdapat ruang tamu dengan empat sofa merah besar. Ada home teater di ruang tengah, dengan matras kecil untuk bersantai. Di belakang ruang tengah terdapat dapur dan meja makan. Rapi dan bersih. Sedangkan, di lantai dua, terdapat dua kamar utama berukuran 5x6 meter, kamar Mala dan bi Inah. Besar, dengan kamar mandi dalam.
Mereka lalu berjalan-jalan di kolam renang belakang dapur. Ada taman kecil di tengahnya. Sri mengedarkan pandangannya ke sekitar area kolam renang itu, sampai kemudian matanya melihat ke arah sesuatu. Ruangan kecil berukuran sekitar 3x8 meter di sudut yang bertembok langsung dengan dinding belakang rumah.
“Itu bangunan apa, La?” jari telunjuk Sri menunjuk bangunan berwarna merah itu.
“Oh, itu gudang penyimpanan koleksi barang-barang antik favoritku. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya, soalnya harganya mahal-mahal,” Mala tersenyum kikuk.
“Ah, tenang La. Tidak mungkin aku akan mencurinya,” Sri tertawa.
Mereka lalu berjalan ke arah bangunan itu. Mala lalu membuka pintunya, menyalakan saklar lampu di balik pintu.
Ruangan itu bercahaya remang, sedikit pengap, dan baunya aneh. Bentuknya seperti lorong. Agak jauh, di kanan kiri terlihat berjejeran lemari kaca ukuran sedang. Sri tidak bisa melihat dengan jelas. Lemari kaca itu masih berjarak sekitar dua meter di depannya, lagipula, pencahayaan di ruangan itu buruk, tapi Sri yakin pasti itu tempat penyimpanan barang-barang antik favorit Mala.
“Aku lupa!” Mala menepuk jidatnya, “aku ambilkan senter dulu ya, soalnya di sini agak gelap.”
Sri mengangguk. Mala lalu berbalik berjalan menjauhi Sri.
Sri dengan tenang mendekati lemari-lemari tersebut. Dan wajahnya pucat, bercampur takut dan ngeri demi melihat dengan jelas isi dalam lima pasang lemari itu. Jantungnya berdetak semakin cepat.
Isi lemari itu adalah mumi orang-orang desa yang menghilang dan dibunuh. Mata mereka dicongkel, dan tubuhnya dipisah-dipisah menjadi tiga bagian: kepala, dada sampai perut, dan bagian paha sampai kaki. Namun tetap disusun menjadi sebentuk manusia, dengan bercelah. Di bawah lemari, ada nama-nama orang itu.
Sri menutup mulutnya takut. Dia menangis, semakin kencang dan keras. Sampai Sri mendengar suara bedebum pintu yang dibanting dengan keras. Dia menjerit-jerit histeris dan berlari ke arah pintu itu. Menggedor-gedor dengan membabi buta dan berusaha keluar dari sana. Dia meneriakkan nama Mala berkali-kali. Namun tetap tak ada jawaban. Sri terkurung di sana.
***
Sementara itu, di luar ruangan itu, berdiri dua orang yang saling tersenyum satu sama lain, dua orang wanita. Wanita yang lebih muda melepaskan topeng cantik yang membungkus wajahnya, dibantu wanita yang lebih tua. Seketika terlihat wajah yang sangat menyeramkan, wajah parut penuh luka bakar.
Dia menyeringai dengan menakutkan. Matanya berkilat penuh dendam. Dia menjilati bibirnya yang sudah tak terbentuk lagi. “Bukan orangtuanya, anaknya pun jadi. Maafkan aku Sri, aku tidak dapat membantumu mengungkap siapa dalang di balik semua ini. Karena aku sendirilah dalangnya.”
“Kalian semua lupa, aku, Kumala Dewi Diman dan bi Inah, kami berdua selamat dari peristiwa keji bertahun-tahun silam. Sekarang, usai sudah pembalasan dendamku.” Seketika tawa menggema mengerikan dari mulut orang itu, juga wanita tua yang ada di sebelahnya.