Jumat, 13 Maret 2015

Dendam


“Tidak jelas siapa pelakunya, La. Polisi, bahkan orang pintar di dusun sudah angkat tangan. Separuh penduduk di sini sudah pindah ke tempat lain yang dianggap lebih aman.” Sri bergidik ngeri saat cerita itu mengalir dari bibirnya sendiri.
Dia baru saja menceritakan tentang kejadian mengerikan itu pada sahabat barunya, Mala. Kumala Dewi adalah penduduk baru di desanya. Dia pindah dari kota karena bosan dengan suasana kota, katanya. Dia tinggal di rumah bersama Bi Inah saja. Papa mamanya tidak ikut pindah, mereka masih tinggal di kota untuk mengurusi bisnis keluarga, itulah cerita yang Sri dapatkan dari Mala.
Mala melemparkan kerikil kecil di tangannya yang diambil dari tanah, ke kali kecil di hadapan mereka, “sampai sekarang belum terungkap juga? Padahal kejadiannya sudah terjadi sejak tiga tahun lalu, ya?” dia bergumam sambil memandang Sri.
Sri menggeleng lemah. “Pelakunya tidak pernah meninggalkan jejak, bahkan sidik jari pun tidak ada. Sampai sekarang, orang-orang yang menghilang itu tidak pernah kembali lagi, karena itu kami menyimpulkan bahwa mereka sudah mati dibunuh. Sebab, si pelaku selalu meninggalkan secarik pesan pada keluarga orang-orang itu, bahwa mereka sudah dibunuh.
Mala melamun. Dia ingin sekali membantu Sri memecahkan masalah pelik ini.
“Eh, besok aku main ke rumahmu ya, pengen lihat-lihat. Boleh?” Sri menatap Mala senang, sambil tangannya memainkan rumput-rumput pendek di sekeliling mereka.
Mala tersenyum. “Boleh. Tapi sayang mama papa nggak ada di rumah. Mereka ada pertemuan penting dengan klien di Singapura.”
Sri mengangguk, dia paham dengan hal itu, Mala sudah memberi tahu dia sebelumnya. Dalam hati, Sri membatin, betapa Mala sangat beruntung memiliki kehidupan sempurna. Cantik, pintar, kaya dan mempunyai orang tua yang luar biasa. Namun sayang, Sri belum pernah memiliki kesempatan bertemu dengan kedua orangtua Mala. Itu karena mereka sangat sibuk. Bahkan saat pindahan pun, Mala hanya bersama bi Inah.
“Kamu beruntung La, punya kehidupan sempurna.” Sri memandang lurus ke kali di hadapan mereka. Kali itu terletak di belakang rumahnya. Airnya bersih, dan terkadang banyak anak-anak mencari ikan dan udang di sana.
“Aku tidak seberuntung yang kamu pikirkan,” Mala tersenyum pahit. “Oh ya, apa sudah ada spekulasi-spekulasi di balik pembunuhan berantai itu?” rupanya Mala tidak dapat menyembunyikan rasa keingintahuannya. Dia begitu tertarik dengan kasus kali ini.
Sri menghela nafas panjang. “Tidak ada yang tahu pasti apa alasan di balik pembuhuhan tersebut. Namun aku yakin sekali ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa keluarga pak Diman sekitar 13 tahun lalu. Saat itu usiaku baru 7 tahun, jadi aku tidak paham apa yang terjadi.”
Sri menambahkan, “malam itu sehabis maghrib, aku melihat bapak dan ibu berlari panik sambil membawa kayu seukuran kira-kira setengah meter, juga pisau, bersama kira-kira 10 orang lainnya. Aku tanya mau ke mana mereka cuma bilang mau ke rumah pak Diman, ada urusan yang hendak diselesaikan. Belakangan baru kutahu, bahwa pak Diman dan istrinya dituduh memelihara tuyul untuk mencuri uang-uang warga desa. Tapi ternyata itu semua tidak benar.”
Sri menerawang kembali, “saat itu aku yang masih kecil mengikuti ke mana bapak ibu pergi, tanpa mereka tahu. Mereka berjalan tergesa menuju arah rumah pak Diman. Aku bersembunyi di balik pohon, agak jauh dari orang-orang itu. Lalu seorang laki-laki lain menyiram sesuatu ke arah rumah itu. Dan tak lama kemudian yang kulihat adalah nyala api yang berkobar besar diiringi teriakan dan tangisan dari dalam rumah. Aku takut sekali. Lalu aku kembali ke rumah, kupikir lebih baik aku seolah tak tahu apa-apa. Karena itu saat kak Bimo dan nenek menanyaiku, aku diam saja sambil menangis. Kamu tahu, La, untuk ukuran anak kecil sepertiku, peristiwa itu sangat mengerikan.”
Mala mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia begitu tak menyangka itu akan dialami oleh Sri. Dia hanyut dalam cerita Sri, seolah-olah, dia ada di sana saat peristiwa mengerikan itu berlangsung.
“Keesokan harinya warga beramai-ramai datang ke rumah yang telah terbakar habis itu, memastikan tak ada yang selamat. Akhirnya, warga menguburkan mayat pak dan bu Diman yang telah gosong ke dalam satu lubang yang digali persis di tengah-tengah rumah tersebut.”
Mala terlihat berpikir keras, dahinya berkerut memandang Sri, “katamu, kamu curiga apakah pembunuhan itu ada kaitannya dengan peristiwa tersebut. Aku berspekulasi, apakah orang-orang yang menghilang dari desa ini adalah kedua belas orang yang melakukan pembakaran tersebut? Berarti...termasuk bapak dan ibumu?” Mala bertanya dengan hati-hati, takut melukai perasaan Sri.
Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan cepat Sri, juga diiringi mata Sri yang berkaca-kaca, “total yang menghilang ada 10 orang. Sedangkan bapak ibuku sudah meninggal akibat kecelakaan sebelum pembunuh itu membunuh mereka.”
Mala memeluk tubuh sahabatnya itu, “tidak apa-apa, beruntung, mereka selamat dari maut.”
Sri mengangguk. Dia lalu mengusap air matanya yang berjatuhan dengan tangannya.
Mala memandang sekelilingnya, suasana sudah mulai beranjak gelap, matahari sudah setengah turun ke peraduannya.  Dia beranjak bangkit dari duduknya, lalu menepuk-nepuk celana jeans birunya yang kotor akibat duduk di tanah tepi kali.
“Ayo, Sri. Kita pulang. Sudah hampir malam,” Mala mengulurkan tangan kanannya membantu  Sri yang masih duduk untuk berdiri.
Sri mengangguk, lalu meraih uluran tangan Mala. Dia pun menepuk-nepuk rok hitamnya yang juga kotor. Lalu berdua mereka berjalan menuju rumah masing-masing.
***
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuat konsentrasi Mala yang sedang membaca buku di ruang tengah buyar.
“Saya bukakan, Non,” bi Inah datang tergopoh-gopoh membuka pintu.
Beberapa saat kemudian, bi Inah datang dengan seseorang.
“Nona Sri, Non,” ucap bi Inah sambil tersenyum pada majikannya itu.
Mala menutup buku yang sedang dibacanya, lalu buku itu diletakkannya ke atas meja kecil di hadapannya. Dia menepuk-nepuk sofa yang masih kosong di samping kirinya, “duduk sini, Sri.”
“Bi, tolong ambilkan camilan-camilan dan juga buatkan jus jeruk ya, dua. Hari ini panas banget. Oh ya, nanti taruh di meja samping kolam renang aja ya bi,” Mala berkata pada pembantunya itu.
Bi Inah mengangguk patuh, “ya, Non,” lalu segara berlalu dari hadapan mereka.
“Oh iya, katanya kamu mau lihat-lihat rumahku ‘kan? Ayo!” Mala tersenyum dan beranjak dari sofa yang didudukinya, Sri pun begitu.
“Ayo!” dia terlihat antusias menyambut ajakan Mala.
Mata Sri terlihat memancarkan sinar kekaguman terhadap rumah Mala. Rumah ini dua kali lipat ukuran rumahnya. Tadi dinding luar rumahnya berwarna putih, sedangkan bagian interiornya berwarnya kuning. Di ruang depan terdapat ruang tamu dengan empat sofa merah besar. Ada home teater di ruang tengah, dengan matras kecil untuk bersantai. Di belakang ruang tengah terdapat dapur dan meja makan. Rapi dan bersih. Sedangkan, di lantai dua, terdapat dua kamar utama berukuran 5x6 meter, kamar Mala dan bi Inah. Besar, dengan kamar mandi dalam.
Mereka lalu berjalan-jalan di kolam renang belakang dapur. Ada taman kecil di tengahnya. Sri mengedarkan pandangannya ke sekitar area kolam renang itu, sampai kemudian matanya melihat ke arah sesuatu. Ruangan kecil berukuran sekitar 3x8 meter di sudut yang bertembok langsung dengan dinding belakang rumah.
“Itu bangunan apa, La?” jari telunjuk Sri menunjuk bangunan berwarna merah itu.
“Oh, itu gudang penyimpanan koleksi barang-barang antik favoritku. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya, soalnya harganya mahal-mahal,” Mala tersenyum kikuk.
“Ah, tenang La. Tidak mungkin aku akan mencurinya,” Sri tertawa.
Mereka lalu berjalan ke arah bangunan itu. Mala lalu membuka pintunya, menyalakan saklar lampu di balik pintu.
Ruangan itu bercahaya remang, sedikit pengap, dan baunya aneh. Bentuknya seperti lorong. Agak jauh, di kanan kiri terlihat berjejeran lemari kaca ukuran sedang. Sri tidak bisa melihat dengan jelas. Lemari kaca itu masih berjarak sekitar dua meter di depannya, lagipula, pencahayaan di ruangan itu buruk, tapi Sri yakin pasti itu tempat penyimpanan barang-barang antik favorit Mala.
“Aku lupa!” Mala menepuk jidatnya, “aku ambilkan senter dulu ya, soalnya di sini agak gelap.”
Sri mengangguk. Mala lalu berbalik berjalan menjauhi Sri.
Sri dengan tenang mendekati lemari-lemari tersebut. Dan wajahnya pucat, bercampur takut dan ngeri demi melihat dengan jelas isi dalam lima pasang lemari itu. Jantungnya berdetak semakin cepat.
Isi lemari itu adalah mumi orang-orang desa yang menghilang dan dibunuh. Mata mereka dicongkel, dan tubuhnya dipisah-dipisah menjadi tiga bagian: kepala, dada sampai perut, dan bagian paha sampai kaki. Namun tetap disusun menjadi sebentuk manusia, dengan bercelah. Di bawah lemari, ada nama-nama orang itu.
Sri menutup mulutnya takut. Dia menangis, semakin kencang dan keras. Sampai Sri mendengar suara bedebum pintu yang dibanting dengan keras. Dia menjerit-jerit histeris dan berlari ke arah pintu itu. Menggedor-gedor dengan membabi buta dan berusaha keluar dari sana. Dia meneriakkan nama Mala berkali-kali. Namun tetap tak ada jawaban. Sri terkurung di sana.
***
Sementara itu, di luar ruangan itu, berdiri dua orang yang saling tersenyum satu sama lain, dua orang wanita. Wanita yang lebih muda melepaskan topeng cantik yang membungkus wajahnya, dibantu wanita yang lebih tua. Seketika terlihat wajah yang sangat menyeramkan, wajah parut penuh luka bakar.
Dia menyeringai dengan menakutkan. Matanya berkilat penuh dendam. Dia menjilati bibirnya yang sudah tak terbentuk lagi. “Bukan orangtuanya, anaknya pun jadi. Maafkan aku Sri, aku tidak dapat membantumu mengungkap siapa dalang di balik semua ini. Karena aku sendirilah dalangnya.”
“Kalian semua lupa, aku, Kumala Dewi Diman dan bi Inah, kami berdua selamat dari peristiwa keji bertahun-tahun silam. Sekarang, usai sudah pembalasan dendamku.” Seketika tawa menggema mengerikan dari mulut orang itu, juga wanita tua yang ada di sebelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar