Jumat, 13 Maret 2015

Menemukanmu

cover: www.debretts.com

Sekarang semua kekurangan dan kelebihanmu adalah milikku juga. Aku butuh mencintaimu. Aku butuh, dan kalau tidak mencintaimu, rasanya aku akan mati.
***
“Cantik,” sebuah suara berat khas kaum adam mengagetkanku yang tengah duduk di pinggir lapangan sepak bola. Dan dia ikut duduk di sampingku sedetik kemudian.
Siapa yang dia bilang cantik? Aku membatin dalam hati, sambil tetap menatap lurus ke depan tanpa memalingkan muka ke arahnya. Namun aku langsung dapat menerka ke mana arah pembicaraan ini akan berlangsung.
“Oh, dia ya?” kataku sambil menunjuk seseorang dengan daguku. Seorang wanita yang sedang berlarian bersama anak-anak itu di lapangan.
“Iya,” aku menangkap nada datar dari suaranya.
“Namanya Eka. Teman sekelasku, relawan di griya ini juga.”
Hening.
“Dia cantik, pintar, baik, dan dari keluarga berada. Pada intinya, she is perfect,” lanjutku tanpa menghiraukan apakah dia akan meresponku atau tidak.
“Masa’?”
Aku memalingkan wajahku ke arahnya dengan kesal. Bisa kulihat wajahnya yang dipenuhi cengengesan. “Kamu suka dia?”
Dia mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Aku nggak tertarik sama sekali.”
Aku mengernyit heran. Tidak tertarik sama sekali? Apa dia sedang bercanda? Ya Tuhaaan, Eka itu termasuk salah satu spesies yang akan membuat semua laki-laki mendekat tanpa dia harus menarik perhatian mereka.
“Kenapa kamu nggak tertarik sama dia? Dia sempurna dan yang terpenting, dia baik. Aku  yang sesama perempuan, sangat iri dengannya. Dia disukai semua orang...” tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
“Kamu bisa disangka orang gila kalau tertawa seperti itu.” Pria di sampingku ini tertawa renyah.
“Tawamu renyah sekali,” aku menatapnya lekat.
“Mungkin benar kalau dia disukai semua orang, tapi belum tentu dia dicintai dan disayangi semua orang,” dia berkata tanpa menghiraukan kalimat terakhirku.
Aku merenung. Mungkin ada sedikit benarnya juga. Tapi, bagaimana pun juga, disukai semua orang pastilah hal yang sangat menyenangkan.
“Aku Yudha, mahasiswa yang sedang melakukan observasi di sini,” katanya ramah sambil mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut uluran tangannya riang, “Mita.”
“Sudah berapa lama kamu jadi relawan di sini?”
“Ah, sebenarnya aku nggak pantas juga disebut relawan. Aku baru gabung di sini sekitar setahun yang lalu, itu juga dulu jarang datang karena sibuk kuliah dan kerja bantu ayah, jadi waktuku hampir tidak ada.” Ucapku sambil tanganku memainkan rumput di sekelilingku.
Kulihat dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terus, apa motivasimu jadi relawan di sini?”
“Niatku cuma ingin berguna bagi sesama. Tidak ada maksud apa-apa.”
Dia menghela napas panjang, “kamu...apa kamu pernah ketemu sama pemilik griya ini?”
Aku menggelengkan kepalaku lemah. “Ibu Muryanah, penjaga griya bilang kalau pemiliknya sangat sibuk. Beliau bilang pemiliknya pak Gilang, seorang mahasiswa usia 25 tahun yang sedang menempuh tahun terakhir studi S2-nya di Inggris. Aku salut sama dia. Masih muda dan sudah berhasil. Lalu, peduli dengan sesama.”
“Kalau ada niat, kamu pasti juga bisa kayak pak Gilang itu,” Yudha tersenyum simpul ke arahku.
“Yahhh, aku harap juga begitu.” Jawabku pendek.
Tiba-tiba, beberapa anak berlarian ke arahku sambil tertawa riang.
“Kak Mitaaa, aku capeeek,” si gendut Ardi menjatuhkan badannya di rumput di depanku.
“Iya kak Mitaaaaa, aku jugaaaa!” beberapa suara menimpali rajukan Ardi.
“Yeee, dasar kalian ini! Nih, kak Mita tadi bawa es teh, tau deh masih dingin apa enggak. Di situ ada makanan juga. Ambil sendiri yah, jangan rebutan!” aku pura-pura kesal.
Seorang anak lagi, Nando, tertawa melihat tingkahku. Aku pun juga ikut tertawa. Dia kemudian mendekat dan mencium pipiku, “makasih kak Mita,” ucapnya tulus. Aku hanya tersenyum.
“Kak! Kak Mita sama kak Yudha cocok deeeh!” Ardi mengangkat kedua jempolnya ke arah kami.
Aku mengernyitkan dahiku heran. Sejak kapan dia kenal dengan Yudha? Aku saja baru pertama kali ini bertemu dengannya.
Dan Yudha seolah tahu isi pikiranku, “Ardi dan semua anak di sini kenal denganku. Aku sudah beberapa kali ke sini untuk mengerjakan penelitianku. Tapi sepertinya kamu baru bertemu denganku kali ini. Dan Eka,” dia melirik ke arah Eka, “ aku juga sudah bertemu sekali dengannya.”
Dia melanjutkan perkataannya, “anak-anak itu cepat mengenaliku karena kharisma dan ketampananku ini,” dan tertawa terpingkal-pingkal beberapa saat kemudian.
Astaga! Aku baru sadar kalau dia memang tampan. Wajahnya menunjukkan kalau dia berasal dari ras campuran Asia Eropa, meskipun tidak terlalu kentara. Dan ya, sesuatu memang memancar keluar dengan kuat dari pria ini. Apa ya? Aura? Kharisma? Entahlah, aku tak tahu.
“Nah, kamu saja tepesona denganku.” Yudha menggodaku.
“Eh, nggak ya!” aku menyangkal kesal, yahh walaupun tadi aku memang sedikit terpesona padanya.
Aku menatap anak-anak di sekelilingku. Mereka nafasku dan aku butuh mencintai mereka. Mereka anak-anak yang dibuang ibunya, dan aku sangat ingin menjadi ibu pengganti untuk mereka. Rasanya bahagia melihat mereka tertawa begitu riangnya. Kulihat Nando, Kevin, Mayang dan Ela berebutan buah jeruk. Kelakuan mereka membuatku terhibur.
“Hei, Yudha?” suara Eka membuyarkan lamunanku. Ia dan diikuti anak-anak lain, berlari-lari kecil menghampiri kami.
Yudha tersenyum, “apa kabar, Ka?” sahutnya ramah.
“Wah, baik. Kok ke sini nggak bilang-bilang?” Eka mengambil posisi duduk di sebelah Yudha. Dan setelahnya aku merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa tentang pembicaraan mereka.
Aku selalu merasa dinomorduakan. Eka memang orang yang easy going, sehingga dia sangat cepat akrab dengan orang lain. Sedangkan aku? Perempuan dengan kepribadian tertutup dan pendiam. Antara sifatku dan sifat Eka, kami berbeda bagai langit dan bumi.
Kuputuskan menyiapkan makan siang. Aku beranjak pergi dari tempat itu..
Tiba-tiba Yudha memanggilku, “hei! Mau ke mana kamu?”
“Menyiapkan makan siang dulu.” Aku tersenyum simpul dan berbalik berjalan meninggalkan mereka berdua.
***
“Enyaaaaaaaaak kak Mita!” Ardi mengoceh dengan mulut penuh makanan.
Nando bahkan menunjukkan kedua jempol jarinya padaku. Pertanda masakanku lezat.
“Kamu pinter masak ya?” Yudha berkata padaku sambil menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
“Nggak juga sih. Dulu karena ngekos, ya aku harus masak sendiri, soalnya kalau beli terus kan bisa jebol kantongku.”
Eka dan Yudha sama-sama tertawa.
“Oh ya, Mit, ada kabar bagus banget. Pak Gilang, pemilik griya ini memutuskan akan mampir ke sini sebelum beliau balik lagi ke Inggris. Tadi bu Muryanah telepon aku waktu kamu lagi nyiapin makan siang,” ujar Eka dengan wajah serius.
Aku antusias. “Astaga! Beneran Ka? Ya Tuhan, aku seneng banget. Tapi, gimana ya rupa pak Gilang itu?” aku berandai-andai.
“Anggap saja dia berkacamata, kaku, pendiam, dan kuper,” Yudha menimpali sambil terkekeh pelan.
Aku menatapnya galak, “Sembarangan kamu!” semprotku.
Yudha kembali tertawa.
Kami lalu melanjutkan makan siang kami. Sebenarnya aku ingin berlama-lama dengan orang-orang di griya ini. Tapi, aku harus mengerjakan pekerjaan kelompokku membuat mainan edukasi untuk anak-anak balita, dan lusa adalah deadline. Novi dan Hani sudah mengoyak-oyakku untuk cepat menyelesaikan tugas kami.
***
Aku membenarkan letak jaket peach-ku. Tak lupa sarung tangan, masker dan helm. Aku pengemudi lalu lintas yang baik bukan?
“Hei! Ingat ya, besok ke sini!” Eka berteriak keras.
“Aduh, Ka! Nggak usah teriak deh. Suaramu tuh udah keras tau,” sahutku kesal. Aku lalu mengarahkan motor matic-ku ke arah jalan. Sambil melambaikan tanganku, aku menoleh ke belakang. “Aku pergi yaaa!”
“Hati-hati Mita!” Yudha dan Eka serempak berteriak padaku. Juga anak-anak griya.
Aku mengangguk dan langsung menjalankan motorku.
***
Sepanjang hari ini aku gelisah, sangat gelisah. Kenapa? Karena hari ini hari besar! Aku akan bertemu pak Gilang! Aku gugup, sangat! Aku tahu dia orang hebat. Masih muda dan sudah akan lulus S2. Belum lagi kebaikan hatinya terhadap anak-anak yatim piatu itu. Beliau mendirikan Griya Bina Hati, sebuah “rumah” untuk anak-anak itu. Yang kutahu juga dari Eka dan bu Muryanah, beliau murni menggunakan dana pribadi beliau untuk kelangsungan griya.
“Nggak usah gugup begitu, Mit,” bisik Eka pelan nyaris tak terdengar.
Malam ini, segenap orang-orang di griya ini berkumpul. Mulai dari para relawan, pembantu-pembantu griya, bu Muryanah, dan semua anak di griya ini  duduk dengan rapi. Semua ramai dan saling berbisik satu sama lain.
Suara deru mobil terdengar jelas. Aku semakin gugup saja, malah Eka memegangi tanganku yang rasanya mulai berkeringat bahkan di ruangan ber-AC ini.
Seseorang, mungkin asisten pak Gilang, masuk ke ruangan. Dia tersenyum kepada semua orang.
“Mari kita sambut sang pemilik griya ini, mas Prayudha Gilang Anggara!”
Tepuk tangan mengisi ruangan. Seseorang masuk, berdiri dan tersenyum di depan kami semua. Detik itu juga wajahku pias oleh kejutan yang terbentang di hadapanku.
***


2 tahun kemudian.
Kami duduk berdua malam ini, di balkon apartemen. Aku menatap lurus ke depan, melihat kerlip lampu malam warna warni, sambil bersandar pada pundak laki-laki yang kucintai ini. Dia suamiku, jodohku.
“Jadi, yang kamu bilang cantik itu dulu, aku mas?” ucapku riang. Dulu, saat aku  pertama bertemu dengannya, dia langsung menyapaku dengan kalimat “cantik”, tetapi aku tidak menyadarinya. Yang kutahu, saat ada aku dan Eka, kalimat “cantik” pasti selalu hanya ditujukan untuk Eka, bukannya aku. 
Laki-laki ini mengelus rambutku penuh sayang, mengecup dahiku berkali-kali sesuka hatinya.
“Jawab dong!” rengekku manja.
“Kamu kan udah tau. Kenapa masih tanya lagi sih?” ujarnya pura-pura kesal.
Aku tersenyum menatapnya. “Pantas aja kamu nggak tertarik dengan Eka, soalnya dia sepupu kamu.”
Dia balas tersenyum padaku. “Kalau pun dia bukan sepupuku, aku tetap cintanya sama kamu, sayang.”
Aku meraih lengannya, bergelung mencari kehangatan di sana.
“Aku sudah jatuh cinta saat pertama melihatmu di rumah Eka 10 tahun lalu. Saat itu kuputuskan kau adalah jodohku,” dia mengunci mataku dengan tatapan teduhnya.
“Dan jadilah, hari itu, kamu kasih kejutan sama aku. Kamu bersekongkol dengan semua orang di griya. Cuma aku yang nggak tahu kalau ternyata pemilik griya itu, kamu.” Aku memanyunkan bibirku, merajuk.
Lagi-lagi, dia hanya tertawa melihat tingkahku. Perlahan matanya menggelap.
“Aku mencintai kamu apa adanya kamu. Sekarang semua kekurangan dan kelebihanmu adalah milikku juga. Aku butuh mencintaimu. Aku butuh, dan kalau tidak mencintaimu, rasanya aku akan mati.” Dia mulai dengan gombalannya yang meluluhkan hatiku.
Aku mendekatkan wajahku ke tengkuknya. Wangi. Dengan seduktif, aku mengembuskan napasku pelan-pelan, “Ya, Prayudha Gilang Anggara, aku juga cinta kamu. Kemarin, hari ini, esok, dan selamanya.”
Lalu kubergegas berdiri masuk ke dalam kamar saat lengannya tiba-tiba menarikku  ke pelukannya. Saat dia menggendongku masuk kamar sambil tersenyum, dan aku melingkarkan kedua tanganku ke lehernya. Aku bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar