Jumat, 13 Maret 2015

Oryza Sativa


Senyap dan dingin. Udara segar terasa masuk ke hidungku, dan perlahan menyentuh indra perabaku. Kabut tipis masih menyelimuti jalan yang kulalui. Hamparan persawahan terlihat hanya sebagai tanah datar saja, belum ada sinar matahari yang menunjukkan bahwa tanah yang luas itu adalah persawahan. Satu dua motor berlalu lalang di jalan, hanya beberapa saja dan sisanya, yang terdengar hanya beberapa suara katak dan jangkrik yang saling bersahutan antar spesiesnya. Juga langkah kakiku yang sedang menapaki jalan menuju ke arah alun-alun. Lagipula, orang  bodoh macam apa yang mau berjalan-jalan menembus pekat dan dinginnya jam setengah lima pagi (kecuali aku)? Sebenarnya agak kurang pas juga disebut “kota”, karena memang penduduk Kajen hanya sedikit dan posisinya memang sebagai sebuah kecamatan yang masuk ke wilayah kabupaten Pekalongan. Tapi aku akan menyebutnya “kota” saja.
Kota Kajen memang terletak di kaki bukit, yang aku tidak tahu namanya. Saat siang, hawanya, memang agak gerah, tapi tidak sepanas kota Solo misalnya, apalagi semacam Jakarta dan Surabaya. Saat sore menjelang malam, hawa sudah terasa menusuk kulit. Satu jaket atau selimut saja tak cukup untuk menghangatkan badan.
Aku selalu menyukai acara jalan-jalan. Bukan ke mall atau keramaian tipikal pasar dan konser. Tapi lebih berjalan-jalan di luasnya alam. Seperti mendaki gunung dan perbukitan, menyusuri sungai, perkebunan, pantai, danau, atau bahkan hanya berjalan santai di pinggir pedesaan saat pagi hari seperti ini. Semuanya terasa damai dan menyenangkan bagiku.
Saat ini aku sedang berjalan menuju arah alun-alun Kajen. Alun-alun Kajen sama seperti alun-alun kota lain pada umumnya. Tapi jika kebanyakan alun-alun lain terletak di tengah kota dan merupakan pusat keramaian, seperti halnya di kota Pekalongan, Solo, Batang, ataupun Ponorogo, maka alun-alun  Kajen berbeda. Alun-alun Kajen terletak agak di pinggir kota. Di sana pusat pemerintahan kabupaten Pekalongan dijalankan. Majid, rumah dinas bupati, kantor DPRD, dishubkominfo, kementrian agama, kementrian pendidikan, kantor polisi, samsat, pengadilan agama, bank daerah, dan lainnya, semua ada di sini. Jadi tidak mengherankan kalau daerah alun-alun bukanlah pusat keramaian. Tapi alun-alun Kajen akan ramai saat hari minggu atau saat ada perayaan tertentu saja, di mana banyak orang berolah raga, dan juga ada banyak pedagang berjualan. Dari mulai baju, sampai makanan dan minuman. Di alun-alun Kajen terdapat taman yang lumayan besar. Aku suka sekali taman itu, walaupun tidak terlalu terurus. Terdapat beberapa tanaman di sana dan juga bangku-bangku. Lalu, di seberang jalan, di samping taman ada gedung serba guna yang banyak disewa untuk tempat resepsi pernikahan. Di area gedung serba guna itulah, ada beberapa permainan yang terdapat di TK. Semacam ayunan, gesuran atupun hanya sekedar bangku.
Kulihat beberapa bangunan perkantoran baru berdiri tegak. Ada beberapa juga yang sedang dalam tahap pengerjaan. Aku menghela nafas pendek, baru setahun lalu, Kajen sudah berubah banyak. Kemarin saja aku lihat ada lampu lalu lintas yang dipasang di perempatan Kajen yang ramai. Yah, kendaraan bermotor semakin lama semakin menyesaki jalanan. Aku memandang ke sekelilingku. Ini bukan hari minggu, jadi tidak banyak orang di sini. Satu dua orang kulihat sedang berlari-lari kecil mengelilingi lapangan alun-alun. Kupercepat langkahku. Taman alun-alun sudah terlihat batang hidungnya.  
Aku baru sampai kemarin di Kajen. Liburan kuliah dua bulan kuputuskan akan kuhabiskan di sini. Sebenarnya banyak rencana  yang sudah kususun rapi di otakku untuk menghabiskan waktu liburan yang lama ini: kerja sambilan, menjadi tenaga relawan di instansi-instansi kemanusiaan, travelling ke berbagai daerah dan banyak hal lain. Tapi semua buyar begitu saja saat ayah dan orang itu memintaku supaya pulang ke Kajen. Ayah ingin aku menghabiskan waktu liburanku di sini. Katanya, semenjak kuliah di luar kota, aku jarang sekali pulang ke rumah, dan memang aku pulang ke Kajen hanya saat ada libur panjang, misalnya libur semester. Karena aku malas pulang naik bus: aku orang yang mengalami mabuk darat kategori parah. Dan orang itu? Aku mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa dia memutuskan kontak selama hampir empat tahun, semenjak kelulusan SMA, dan tiba-tiba baru menghubungiku tepat di saat UAS semester. Suatu hari dia menelepon dan memintaku pulang ke Kajen selama masa liburan ini. Sudah! Itu saja! Sekali saja dia menghubungiku, hanya untuk memerintahku pulang, sisanya, teleponku tidak pernah diangkat bahkan smsku pun tidak pernah dibalas.
Aku duduk di bangku taman. Taman ini tidak berubah sejak aku terakhir ke sini. Masih agak semrawut. Dan catnya sudah mengelupas di sana sini. Matahari sudah sedikit menampakkan dirinya, membuat udara terasa menghangat. Aku menghela nafas panjang. Dulu, aku dan orang itu suka sekali bermain di sini, bersama teman-teman lainnya. Hampir tiap hari, jika tidak ada halangan. Kami akan berlarian, bermain petak umpet, atau sekedar jalan-jalan di antara teduhnya pepohonan. Sekarang, aku sibuk kuliah. Teman-teman lain juga sibuk dengan urusan masing-masing. Dan dia juga mungkin sibuk mengurusi bisnisnya, yang entah aku tidak tahu apa.
Aku mengedarkan pandanganku. Sepi. Kemudian aku memejamkan mataku. Ah, damainya...
“Oryza!” ah, mungkin aku hanya berkhayal...
“Oryza Sativa!” tapi kalau aku memang sedang berkhayal, kenapa suara itu terdengar berulang di telingaku?
Kubuka mataku. Hatiku bergetar, suara lembut seseorang mengempasku kembali pada alam nyata. Kualihkan mataku ke samping kanan. Di sana, seseorang tengah tersenyum lebar. Mampu menembus sisi hatiku yang berkabut.
Aku menatapnya tidak berkedip. Dia...di sini? Kenapa?
Saat aku masih kecil, aku sangat ingin cepat bertumbuh dewasa. Rasanya menyenangkan melihat kehidupan orang dewasa. Tapi ternyata aku salah besar. Bahkan, saat ini, saat aku akan beranjak dewasa. Aku ingin waktu kembali memutar mengantarku ke masa kecilku. Masa bahagia. Saat kamu kau tahu bahwa dihukum ibu guru karena tidak mengerjakan pr, atau luka karena terjatuh, sakitnya tidak seberapa jika dibandingkan sakitnya hati yang terluka. Dan itu terjadi padaku.
“Kenapa? Kenapa ada di sini?” aku mencoba mengendalikan diriku, suaraku lirih dan sangat bergetar.
“Nggak boleh? Suka-suka aku dong, Oryza Sativa!” dia masih mencoba membuat humor. Aku sama sekali tidak menganggapnya sedang melucu. Dia bukan pelawak profesional.
“Nggak lucu! Dan jangan panggil aku begitu. Itu menyakitkan.” Hanya dia satu-satunya yang memanggilku dengan lengkap sejak kami masih kecil. Aku lalu mengalihkan tatapanku ke arah depan. Memandangi kendaraan yang mulai ramai berlalu lalang.
Oryza Sativa. Itu namaku. Aneh? Menurutku tidak. Standar saja alasan ayah memberiku nama itu. Dia ingin aku seperti padi, yang semakin berisi semakin merunduk. Ayahku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ayah hanya tahu “oryza sativa” dari pedagang pupuk yang dibelinya. Saat itu, saat ibu masih mengndungku,  ayah melihat ada tulisan “oryza sativa” di buku kecil si pedagang pupuk. Ayah bertanya apa artinya. Lantas si pedagang mengatakan bahwa oryza sativa adalah bahasa Latin yang berarti padi. Ayah dan ibu lalu tanpa pikir panjang memberiku nama oryza sativa saat aku lahir. Namun sayang, ibu belum melihat seperti apa si oryza sativa saat beranjak dewasa...
Terkadang aku merasa geli saat orang-orang baru pertama kali mengenalku. Mereka akan penasaran bagaimana bisa namaku Oryza Sativa, dan aku harus menjelaskan pada mereka bagaimana asal usul namaku itu. Dan itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi beberapa kali. Kadang membuatku sedikit kesal dan sebal, yang akhirnya berujung pada keinginan untuk merubah namaku. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak apa-apa. Toh, nama adalah doa orang tua.
“Kenapa? Aku selalu suka nama oryza sativa. Itu mengingatkanku pada orang yang kusayangi.” Dia terlihat tersenyum merenung, lalu memandang ke arah yang sama denganku.
Aku mendesah. Aku menyukainya dari dulu. Berusaha menarik perhatiannya dengan cara apa pun. Tapi sepertinya dia tidak bisa membaca apa yang kuinginkan. Dia mengacuhkanku. Memang salahku, tidak memberitahunya apa yang kurasakan.
“Yang kamu sayangi cuma sebatas adik...” aku menggigit bibir saat mengatakan hal itu. Aku tidak boleh menangis di depannya. Aku tidak mau dikasihani. Aku benci dikasihani.
“Sayang kepada keluarga jauh lebih besar kadarnya dibanding rasa sayang yang orang-orang umbar ke kekasihnya. Kamu apa kabar?” Dia mencoba mencari pembenaran.
“Keluarga apa? Adik angkat, keluarga angkat?” aku benci harus melanjutkan percakapan penuh emosi seperti ini. Aku kembali menatapnya tanpa ekspresi. Tidak mengindahkan pertanyaannya yang menanyakan kabarku.
“Eh?” dia mengernyitkan dahinya setelah mendengar kalimat terakhirku. Mungkin sedang mencerna artinya. Ayolah! Aku tahu IQ nya sangat tinggi. Tapi kenapa selalu terlihat bodoh saat berhadapan denganku?
Aku benar-benar sudah tak tahan. Aku memutuskan bangkit dan berjalan perlahan menjauhinya. Terdengar derap langkahnya mengikutiku. Aku tidak peduli. Bukan urusanku dia mau pergi atau mengikuti ke manapun aku pergi.
“Adik angkat?” suaranya terdengar di belakangku.
“Iya, adik angkat. Selama ini ‘kan kamu anggep aku adik angkat. Apalagi kalau bukan itu?” suaraku terdengar serak dan putus-putus saat mengatakan hal itu.
Aku berhenti tiba-tiba, dan membalikkan badanku ke arahnya. “Aku tau kalau kamu juga tau kan kalau aku suka kamu! Tapi kamu sengaja pergi. Sengaja mutusin kontak. Sengaja narik ulur perasaan aku. Sampai beberapa minggu lalu kamu minta aku pulang. AKU KANGEN KAMU! KAMU TAU NGGAK!” aku berteriak keras, tidak lagi peduli lagi dengan banyaknya air mata yang berebutan keluar dari tempat persembunyiannya. Juga tidak peduli dengan beberapa orang di taman yang malihat ke arah kami.
Dia hanya bergeming di sana, tak bergerak sama sekali. Tetapi kemudian tersenyum lebar dan berjalan mendekat ke arahku. Aku menatapnya tidak mengerti. Apa-apaan dia! Benar-baner membuat aku ingin mati saja.
“Kamu tau nggak? Aku lho, juga kangen kamu.” Dia mengatakan itu saat jarak kami hanya satu meter, dengan senyuman lebar yang masih menghiasi wajahnya.
Aku mendengus kesal, “cuma kangen kan? Bukan suka!”
Dia tertawa keras. Aku tercenung lagi. Ya Tuhan, bisakah Engkau tidak membuat makhluk satu ini tidak tertawa ataupun tersenyum di hadapanku? Karena itu membuat jantungku seperti sedang melakukan lomba lari maraton tingkat internasional.
“Memang bukan suka! Tapi sayang dan cinta!” dia terlihat mengeraskan rahangnya saat mengucapkan kalimat itu.
Aku terpana. Bagaimana bisa? Dia masih saja berbohong bahkan di saat dia sudah memiliki istri?
“Gila ya! Kamu udah gila kak! Beraninya bicara begitu bahkan saat kamu udah punya istri!” aku berkata ketus. Dia benar-benar sudah melampaui batasnya sebagai seorang laki-laki.
“Istri?” kekagetannya tak bisa disembunyikan saat mengatakan itu. “Sejak kapan aku punya istri?” matanya membulat mencari tahu jawaban yang akan aku lontarkan.
Dia benar-benar pandai berakting!
“Fauzan yang bilang tiga bulan yang lalu! Dia bilang kakaknya sudah menikah dan punya istri!” aku menggertaknya keras. Terbayang di benakku kejadian tiga bulan yang lalu. Fauzan, adiknya bilang kalau dia sudah menikah dan mempunyai istri. Pernyataan Fauzan membuatku terluka untuk kesekian kalinya.
Dia hanya melongo mendengar kalimatku. Beberapa detik kemudian dia tertawa dan tatapannya melembut. Dia tersenyum, “Fauzan pasti salah menguping pembicaraanku dengan ayah ibu.”
Dia mendekat lagi ke arahku sampai jarak kami kira-kira hanya setengah meter. “Aku bukan sudah menikah, tapi aku baru akan menikah.”
Aku tak percaya. Sebegitu mudahnya dia mengatakan hal itu di depanku. Airmataku kembali mengalir deras. Apakah dia masih memiliki perasaan? Mengapa begitu saja mengatakan hal itu kepadaku? Apa dia sengaja? Di manakah hatinya? Aku berdiri terdiam, membiarkannya terus menatapku. Dan dia masih saja bisa tersenyum di saat airmataku mengalir tanpa ampun.
Dia merogoh kantung celana panjangnya, meraih sesuatu di sana. Sesuatu, yang kurasa sebuah undangan. Berwarna hijau terang. Dia meraih tanganku dan menyodorkan kertas itu.
Aku hanya menatapnya penuh tanda tanya. Lagi lagi aku ingin berteriak keras, ke mana hatinya? Apa dia tidak sadar bahwa ini akan sangat memberi pengaruh buruk pada hatiku.
“Dibuka dong! Mana kamu tau siapa calon istriku kalau kamu cuma bengong liatin aja.” Dia tersenyum simpul.
Aku membuka kertas hijau itu dengan tangan bergetar. Dan mulai menggerakkan bola mataku mencari ka arah nama si calon pengantin perempuan.
Oh! Aku menutup mulutku dengan tangan kananku begitu aku menemukannya. Tidak mungkin, ini pasti salah! Pasti ada yang salah dengan mataku! Kenapa bisa?
Zidan Rauf dan...Oryza Sativa???
Aku memandangnya yang masih tersenyum ke arahku. Pandanganku mulai mengabur saat air mataku tumpah ruah, mulai membasahi baju yang kukenakan. Dan dia menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Sehangat sinar matahari yang terlihat semakin meninggi di atas kami.
***********

Kami perlahan melangkah ke pemakaman ini. Hening. Ini, tempat sesungguhnya seorang manusia. Dan juga tempat ibuku berada selama 20 tahun ini. Ya, ibuku meninggal saat usiaku baru setahun, karena kanker rahim yang ibu derita, kata ayah. Kanker itu muncul secara tiba-tiba saat sudah mencapai stadium akhir. Tidak aja jalan lagi untuk disembuhkan. Ayah hanya pasrah menerima semuanya. Bagi ayah, kematian sudah menjadi kehendak Yang Kuasa, tidak ada yang bisa menolaknya.
“Ibu...” aku menatap nisan di depanku, lalu mengusapnya, “ibu, aku rindu ibu...” tangisanku meledak, dan dia masih menggenggam tanganku erat.
“Ibu, apa ibu tahu kalau selama ini aku kesepian, jadi ibu mengirim dia untuk menemaniku? Ibu, ibu dan ayah selalu hadir dalam doaku pada Yang Maha Esa. Semoga siksa kubur ibu diringankan, dan semoga ibu masuk surga. InsyaAllah, aku dan ayah juga akan menyusul ibu suatu saat nanti, dan juga Kak Zidan. Bu, kami akan menikah. Harusnya ibu lihat Iza menikah...” aku tak sanggup lagi meneruskan kalimatku. Tenggorokanku rasanya kelu.
“Bu, aku akan menjaganya. Oryza, dia akan aman dalam perlindunganku, bu. Aku janji.” Kak Zidan menatap nisan ibu lembut. Aku semakin terisak.
Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Kami berdoa sebentar, lalu bangkit berjalan meninggalkan pemakaman. Kak Zidan masih menggenggam tanganku erat.
*********

“Jadi karena itu kakak sama ayah minta aku pulang?” aku menatapnya yang masih berkonsentrasi menyetir.
“Iya lah, terus ngapain lagi dong? Mumpung waktunya banyak, kita juga bisa bulan madu ‘kan, Oryza Sativa?” dia menjawab dengan kalimat jahilnya sambil terus menatap lurus ke depan.
Aku mencubit pingganggnya. Menyebalkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar