Jumat, 13 Maret 2015

Suatu Sore

Sambil menyesap cokelat panas, kuedarkan mataku ke segala penjuru ruangan kafe ini. Tidak ada yang berubah satu pun. Masih sama seperti lima tahun lalu. Tiba-tiba saja aku terhenyak. Untuk sejenak, kejadian yang pernah membuat hatiku hancur itu datang kembali. Namun kugelengkan  kepalaku kuat-kuat. Bagiku, masa lalu tetaplah masa lalu. Ada yang lebih berarti daripada hanya sekedar mengingat sesuatu yang pernah membuat hatimu hancur. Dan ada seseorang yang lebih berharga untuk kau cintai daripada ia yang pernah menyakiti hatimu.

Kafe ini tetap sama seperti dulu. Dengan kaca transparan, kau bisa lihat taman kota di seberangnya. Juga para pejalan kaki di luar yang lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Pengunjung kafe ini tak terlalu ramai. Mungkin karena gaya bangunan kafe yang lebih terlihat seperti bangunan tua berhawa nostalgia. Maklum, anak muda zaman sekarang lebih berhasrat dengan gaya bangunan minimalis modern ketimbang bangunan gaya tua seperti ini. Namun bagi orang-orang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, bangunan kafe ini adalah simbol kesempurnaan hati . Itu yang dikatakan seseorang padaku. Entahlah, aku juga tak terlalu paham.

Aku lantas memandang ke arah luar lagi. Hatiku merasakan sesuatu yang tidak enak. Mendung. Oh, sial! Kenapa setiap aku ada di sini pasti hujan datang? Dan benar saja, tak sampai semenit, gerimis mulai turun. Aku mendesah panjang. Kali ini, aku tak membawa payung. Kukeluarkan ponselku dari tas. 
Bisa antarkan payung unguku ke kafe?’ aku mengetik SMS di ponselku. Kirim.
Tak lama kemudian pesan balasan masuk. ‘Aku sedang rapat. Tunggu setengah jam lagi, ya :D.’

Aku dengan gelisah melirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 15.00.  Aku memanyunkan bibirku kesal. ‘Oke, kutunggu’, balasku.

Kumasukkan kembali ponselku ke tas. Saat akan kembali meraih cangkir cokelat panasku, tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan seseorang sedang masuk ke kafe. Orang itu sepertinya kehujanan. Dia terlihat gaduh. Tiba-tiba dia mengarahkan tubuhnya menghadapku. Mataku membesar saat mata kami beradu pandang. Dia mematung di sana, tak bergeming. Aku pun cepat-cepat menguasai diriku. Kusunggingkan sebentuk senyum kaku di bibirku. Perlahan dia melangkah ke arahku.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya lembut padaku.
“Mengapa tak boleh? Duduk saja.” 
Dia duduk di depanku. Kami biarkan keheningan menyelimuti kami. Dia rupanya tak tahan.
“Ke mana saja kau menghilang lima tahun ini? Aku bertanya ke sana ke mari, tak satu pun yang tahu keberadaanmu..”  tanyanya memecah keheningan di antara kami.
Aku memandang lurus menuju manik matanya. “Aku tak ke mana pun.”
 “Kau…apa masih mengingat kejadian itu? Apa kau baik-baik saja?” suaranya berubah cemas.
Aku tersenyum masam. “Tentu. Mana mungkin aku lupa. Iya ‘kan? Dan lagi mengenai apakah aku baik-baik saja atau tidak, kau bisa lihat sendiri. Apakah menurutmu aku kurang sesuatu?” 
“Itu adalah sebuah kesalahan, Shain. Percayalah.” Dia berusaha meyakinkanku. 
Aku mendesah. Kuperhatikan pria ini nampak lebih kurus dari waktu terakhir aku bertemu dengannya lima tahun lalu. Dirinya terlihat tak terawat dengan baik.
Aku tertawa tanpa suara. “ Bagiku bukan masalah bila itu adalah sebuah kesalahan atau tidak. Bahkan aku pun tak ambil peduli jika itu adalah sebuah kesengajaan atau tidak. Yang terpenting, saat itu, kau dengan begitu mudahnya melepasku dan melukai hatiku.”
“Shain…”
“Jangan mengharapkanku lagi. Aku sudah punya seseorang yang kucintai melebihi kau. Kau pun sudah mempunyai seseorang yang harus kau jaga. Jadi, biarlah kita hidup sesuai arus putaran hidup kita masing-masing.” Aku memotong ucapannya dengan geram.

Dia memejamkan matanya sejenak. Lalu kembali manatapku dengan pandangan yang terluka. “Kami tidak pernah menikah. Dia mendekatiku hanya karena melihat harta yang kumiliki. Aku sangat menyesal. Satu-satunya wanita yang tulus mencintaiku, hanya kau seorang.”

Aku menghela nafas panjang. Lalu kembali menyesap cokelat panas di meja depanku. Kualihkan pandanganku ke taman kota. Hujan masih turun. Dan di taman sana sudah terlihat kuncup bebungaan yang sebentar lagi akan mekar. Lalu kembali menatap orang itu.
“Lihatlah kuncup bunga di sana itu,” kataku sambil menunjuk taman di seberang kafe ini.“Selalu ada kuncup baru yang akan tumbuh. Hidup pun begitu. Lupakan masa lalu yang menyakitkan dan bangkitlah untuk meraih cinta yang lebih baik,” kataku mantap.

Dia tersenyum sedih. “Aku tak yakin,” nada pesimis terdengar dari suaranya.
“Terserah padamu. Itu urusanmu dan aku tak berhak mencampurinya.” Aku mengedikkan bahuku.
“Shain, terakhir kalinya, kumohon kau untuk kembali ke sisiku.” Pria ini rupanya tak kenal kata menyerah.
Aku menggelang pasti, sambil menatap matanya dalam-dalam.
“Tidak mungkin. Bukankah sudah kukatakan bahwa ada seseorang yang sangat berharga bagiku ketimbang kau.”
Tepat saat itu, seseorang yang sedang kubicarakan itu masuk ke kafe dan berjalan ke arahku sembari tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Dasinya sudah tak terpakai lagi, dan kemeja putihnya digulung sampai lengan. Ah, setiap kali melihatnya, aku tak bisa berhenti untuk terpesona.

Dia mengecup keningku. Kulirik pria yang duduk di depanku. Dia terlihat sangat terkejut.
“Maaf lama, sayang.”  Dia tertawa kecil.
Aku pura-pura kesal. “Begitu? Memang kapan kau pernah datang cepat?”
“Ah, jangan begitu. Dan…siapa pria ini, sayang?” Ia melirik laki-laki yang duduk di hadapanku melalui ujung matanya.
Aku tersenyum, “Temanku saat kuliah.”
Pria yang mengecup keningku menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan pada pria yang sedang duduk tersebut.
“Saya Tian, Mahardika Tian Winata, suami Shaina.”
Pria yang sedang duduk itu pun membalas jabatan tangan suamiku. “Bayu.”
“Maaf tapi kami harus pergi.” Tian menatap Bayu sambil tersenyum.

Dia lalu menggandeng tanganku dengan tangan kirinya sambil tangan kanannya memegang payung unguku. Kami keluar meninggaalkan kafe dan Bayu yang hanya terduduk diam.
Aku tersenyum pada suamiku. Tak sedikit pun menoleh ke belakang. Karena kini hatiku hanya terisi oleh Tian dan tak ada tempat untuk yang lain.

2 komentar:

  1. Ini keren, aku terbawa suasana. Seandainya bisa jadi tokoh wanitanya >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus