Jumat, 13 Maret 2015

Karunia Terindah


Wanita itu dipanggil Nia. Nama lengkapnya Karunia Hati. Bagi Tyo, Nia memang karunia paling indah yang diberi Tuhan untuknya. Betapa tidak, Tyo berubah perangainya sejak istrinya itu memasuki kehidupannya.
Bermula dari paksaan Feri, seorang temannya, untuk menghadiri pengajian. Tyo ingin menolak mentah-mentah ajakan temannya itu, baginya pengajian adalah hal paling membosankan dalam hidupnya, ia akan lebih memilih kafe, mall, atau pun konser-konser. Tyo yang angkuh karena memiliki kehidupan yang sangat berkecukupan. Tyo yang seorang penganut hedonisme, yang tujuan hidupnya hanya untuk bersenang-senang. Dan Tyo yang selama hidupnya tak pernah mengenal Tuhan. Baginya, uang adalah segalanya. Uang bisa membeli segalanya. Ya, segalanya...
Tapi apa daya, saat itu Tyo sedang menumpang tidur di kos-an Feri, karena sedang ada pekerjaan kelompok dari dosen antara ia dan Feri. Enggan menolak ajakan tuan rumah, berangkatlah ia ke pengajian itu setengah hati. Pertama melihat Nia, Tyo sedikit merasa jijik. Kenapa? Ah, tak usahlah diceritakan, tak etis.
Dan sialnya, Feri mengajak ia menghadiri pengajian di musholla Al Huda itu setiap hari selama dua minggu ia di kos Feri. Dan bukan pula melulu soal pengajian, namun juga bakti sosial.
Dari sanalah ia lebih mengenal sosok Nia. Sampai Tyo melihat sendiri bagaimana kehidupan Nia. Bagaimana wanita itu dulu bekerja keras demi menghidupi dirinya sendiri. Ya, Nia hidup sendiri, ia adalah anak yang dibuang dari keluarganya. Beruntung, sebuah pantai asuhan mau menerimanya. Bia tulus menjalani semuanya. Sekali pun tak pernah wanita itu mengeluh.
Sebaku-bekunya hati seorang anak manusia, akan ada saatnya ia akan mencair. Dan itu memang takdir Tuhan yang tak bisa dihindari.
Hati Tyo mulai meleleh. Ia mulai berubah. Dua minggu pertemuan yang singkat merubah segalanya. Perlahan ia mulai menjauh dari kehidupan hedonis yang ia anut. Juga mulai serius memimpim perusahaan sang ayah. Tak lupa bersama Feri, ia mulai sering mengadakan acara-acara bakti sosial, bersama Nia juga.
Sampai kedekatan ia dan Nia membawa mereka pada gerbang suci pernikahan. Ayah dan ibunya menolak keras pernikahan mereka, bahkan menghapus nama Tyo dari daftar keluarga besar dan juga ahli waris. Segala cara ditempuh untuk memisahkan ia dan Nia, namun Tyo tak juga goyah, ia tetap pada keputusannya. Hati kecilnya mengatakan Nia adalah yang terbaik untuknya.
Dia tak ingin melepaskan wanita itu. Tyo mencintai Nia. Dia ingin berbagi manis pahit kehidupan hanya bersama wanita itu.
Tyo sudah sadar, uang memang alat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Tapi uang tak bisa membeli segalanya. Uang tak bisa membeli cinta dan kebahagiaan.
***
Tyo melangkah riang menuju rumah kecil berwarna putih itu. Hasil kerja kerasnya 10 bulan yang lalu, walau pun kreditnya belum lunas, ia bersyukur bisa memiliki rumah.  Tyo mengetuk pintu, “assalamu’alaikum...” Ia lalu menunggu sang penghuni di dalamnya untuk membuka pintu, seraya duduk-duduk di beranda depan selepas pulang dari kantor.
Sampai beberapa menit kemudian seseorang membukakan pintu untuknya .
“Wa’alaikum salam...” terdengar suara jawaban dari dalam rumah.
Seorang wanita berkerudung cokelat, dengan tubuh yang diseret-seret, karena kedua kakinya lumpuh akibat virus polio yang menyerangnya di usia kanak-kanak. Juga wajahnya yang cantik namun dipenuhi lepuhan akibat luka bakar yang dialaminya setahun lalu.
Wanita itu tersenyum bahagia, wajahnya bersinar. Kedua tangannya yang kecil menggapai-gapai Tyo. Betapa ia telah menanti orang yang dicintainya untuk kembali ke pelukannya.
Tyo balas tersenyum. Segera ia berjongkok mensejajarkan diri di hadapan wanita itu. Tyo merengkuh tubuh mungil wanita itu ke pelukannya, lalu menggendongnya penuh cinta. Sambil berharap selalu, bahwa mereka akan tetap bahagia seperti ini kelak, di dunia dan akhirat.
Wanita itu bernama Nia. Orang yang telah menjadi separuh jiwanya, wanita yang telah melengkapi hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar