Jumat, 13 Maret 2015

Ayah

rileystephenson.wordpress.com
“Ayah, aku mau beli komik, tapi adanya di Gramedia di kota, yah. Gimana dong?” aku merengek-rengek pada ayah yang sedang membaca koran. Gramedia yang kumaksud letaknya di plaza kota yang waktu tempuhnya sekitar sejam dari rumahku.

Ayah melongokkan kepalanya dari bentangan lembaran koran di hadapannya, “terus, ayah nganterin gitu?” kemudian sibuk lagi membaca koran.

Aku memasang wajah cemberut, “ya udah deh kalau nggak mau,” lalu melengos pergi meninggalkan ayah sendiri.

Keesokan harinya… “Win, ayo! Katanya mau beli komik,”  ayah muncul tiba-tiba di hadapanku yang  siang itu sedang duduk-duduk di gazebo depan rumah dengan berpakaian lengkap seperti orang-orang kalau mau pergi: jaket semi parasut cokelat, celana jeans hitam gelap, dan juga tidak lupa helm yang bertengger di kepala beliau.

Aku melongo, “katanya ayah kemaren, ayah nggak mau nganter Win. Gimana sih ayah?”

“Perasaan, ayah nggak pernah ngomong gitu deh, Win,” ayah mengerutkan keningnya heran, “udah, cepertan ah, keburu sore nanti,” lalu berjalan menuju motor matic merahnya.

Aku melonjak senang, lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah mengambil jaket dan juga helmku.

###

“Ayah, Win pengen banget beli hamburger nih,” aku melirik film Cloudy with Chance of Meatball yang sedang terputar di laptop di hadapanku. Adegan hujan makanannya membuat air liurku berebutan meleleh dan perutku memaksa berbunyi.

Ayah yang sedang tiduran membuka matanya, “beli sendiri gih sono. Udah matiin aja laptopnya,” ayah menatapku galak, lalu kembali memejamkan matanya.

Aku memutar mataku sebal. Lalu kumatikan laptopku dan beranjak pergi dari ruang tamu, menuju kamarku.

Keesokan harinya… Mataku meneliti sebuah bungkusan hitam di atas meja makan. Penasaran, kubuka bungkusan itu. Hamburger! Aku tersenyum, terimakasih ayah.

###

Sudah  sejam aku duduk termangu di sini, menatap lalu lalang orang-orang. Tadi aku diajak Tina main ke pasar, dan aku tidak minta izin ayah. Kami ke pasar naik angkot,  dan berkeliling lama, aku menemani  Tina memilih baju yang akan dibelinya. Akhirnya Tina memutuskan akan membeli sebuah dress ungu muda. 

Setelah itu, tiba-tiba pacarnya menelepon. Katanya mau menjemput Tina. Jadilah akhirnya aku menunggu di sini sendiri, dari tadi tidak kulihat ada angkot satu pun yang melintas.

Ponsel dalam genggamanku bergetar, tertera nama ayah di sana. Kutekan tombol hijau.
“Kamu ke mana aja? Itulah kalau pergi-pergi nggak ngomong sama ayah,” suara ayah terdengar keras bersaing dengan deru hujan. Ada nada kecemasan di sana.

Aku menjawab takut-takut, “aku di pasar, yah.”
“Ya udah tunggu di sana. Ayah jemput.” Sambungan langsung terputus begitu ayah selesai dengan kalimatnya. Aku hanya menghela nafas pelan. Maafkan aku, yah.

***

“Ayah, makan yang banyak, yah. Nanti biar cepat sembuh.” Aku membujuk ayah sambil berusaha menyuapkan nasi ke mulutnya.

Ayah menggeleng lemah. Aku menyerah, kuletakkan piring makan di meja samping kasur. Setidaknya ayah mau makan lima sendok suap nasi. Dua hari kemarin, ayah tidak mau menyentuh makanannya sama sekali. Beliau hanya makan dari cairan infus yang menancap di punggung tangan kirinya.

Aku menyiapkan obat-obatan buat ayah. Sudah seminggu ini ayah divonis menderita demam berdarah. Dan sialnya lagi, dokter bilang, kecil kemungkinan ayah bisa sembuh. Karena ayah terlambat ditangani, dan virusnya sudah menyebar di segala bagian tubuh.

Aku harus membatalkan semua meeting dengan klien selama seminggu ini. Ayah lebih penting bagiku. Aku beranjak mendekati sisi kanan ranjang, menyodorkan obat-obat di tanganku, dan segelas gelas berisi air putih.

Ayah menatapku lemah, “ayah udah nggak bisa sembuh ya Win? Syukurlah, akhirnya semuanya selesai. Kamu nggak perlu repot-repot lagi nyari uang buat biaya rumah sakit. Ayah juga senang bisa nyusul ibu, Win. Tapi…” ayah menghentikan ucapannya,”ayah juga nggak mau pisah sama Win. Nanti yang jagain Win siapa?” mata ayah berkaca-kaca, sebulir air mata jatuh membasahi wajah tuanya.

Aku hanya terdiam. Tanpa mengatakan apa-apa, aku keluar dari kamar rumah sakit.
Kusandarkan tubuhku di dinding depan kamar ini. Setegar apa pun wajah yang kuperlihatkan di depan ayah, aku hanya seorang wanita biasa yang rapuh. Mataku kurasakan mulai memanas, buliran air mata setetes, dua tetes, menyeruak keluar. Deras, dan semakin deras.

Ayah, kalau sakitnya  bisa dibagi, aku ingin memintanya.
Kuputuskan berjalan-jalan ke sekitar rumah sakit. Kalau di dalam terus, air mataku nanti bisa kering.

***

Ayah tertidur pulas. Aku tersenyum. Kuedarkan mataku ke penjuru kamar. Tiba-tiba tertangkap oleh mataku sebuah amplop biru bertuliskan: Untuk Winda.

Aku segera mendekati amplop itu, kubuka dengan pelan.

Untuk Winda, yang paling berharga yang ayah punya.
Winda, ayah mau bilang semuanya ke kamu, sesuai janji ayah, ayah mau menjelaskan semua hal yang pernah kamu pertanyakan.
Kenapa ayah nggak ngebolehin kamu pergi malam-malam? Ayah mau jaga Winda. Linkungan di luar sangat buruk, Win. Ayah nggak mau anak ayah diapa-apain sama orang.
Kenapa ayah nggak ngebolehin kamu beli boneka? Ayah nggak mau Winda jadi anak manja. Dan Winda harus tahu dan harus belajar kalau nggak semua yang kita mau bisa kita dapatkan dengan mudah. Ayah mau Winda belajar kerja keras ngedapetin yang Winda mau.
Kenapa ayah nggak ngebolehin kamu nangis? Ayah nggak mau anak ayah jadi orang cengeng. Nanti kalau ayah udah nggak ada, Winda harus mandiri, jangan bergantung sama orang lain.
Kenapa ayah nggak ngebolehin kamu naik motor? Ayah nggak mau Winda kecelakaan di jalan. Selagi ayah bisa, ayah akan anter kamu ke mana aja, Win.
Win, ayah takut, suatu hari nanti ayah bakal ninggalin Winda sendiri. Nanti Winda sama siapa? Tapi jangan kuatir ya Win, ada Allah yang nemenin Winda. Dan sekali lagi, Winda harus belajar mandiri dan nggak bergantung sama orang lain. Suka atau nggak suka.
Win, jangan pernah pertanyakan cinta ayah ya? Ayah emang nggak bisa secara lugas ngungkapin semua. Tapi ayah berharap, dari semua perbuatan yang ayah lakuin ke Winda, Winda paham, sebesar apa ayah sayang kamu.
Win, cuma ini yang bisa ayah tulis. Ayah harap, Winda mengerti ya?
Salam cinta dari ayah.

Dan air mataku jatuh deras tak terbendung lagi. Aku sayang ayah. Ayah laki-laki terbaik dan terhebat yang pernah hadir di hidupku.

***

Aku cepat-cepat membereskan tumpukan berkas di mejaku. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Sudah waktunya bertemu ayah. Setahun terakhir ini aku hanya bisa menemui ayah seminggu sekali di hari jumat. Karena kesibukanku di kantor.

“Winda, mau ke mana?” Dini, staf bagian administrasi yang duduk di seberangku bertanya.

Aku tersenyum, “mau ketemu ayah, Din.” Aku menepuk-nepuk bagian belakang rok yang kukenakan. Lalu beranjak bangkit meninggalkan ruangan kantor.

“Hati-hati, Win.” Dini tersenyum ke arahku.

“Iya,” aku balas tersenyum.

Gerbang besar itu menyambutku. Ia tahu bahwa setiap jumat sore aku selalu ke sini menjenguk ayah. Aku berjalan perlahan. Kesunyian merayapi tempat ini. Begitu banyak manusia di sini, namun tak seorang pun dapat berbicara.

Aku sampai pada tempat ayah. Ada ibu di sampingnya. Aku tesenyum pada dua nisan yang mewakili mereka. Ayah pernah berwasiat, beliau ingin ditempatkan di sisi ibu. Aku mengelus kedua nisan itu bergantian. Ayah, ibu, semoga kalian mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Aku akan menyusul kalian nanti, entah kapan. Karena aku pun tak tahu kapan waktuku akan tiba.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar